22. Pakar Wanita

4.3K 346 296
                                    

Semenjak Hiro pergi ke rumah Bachtiar, Aya menjadi gundah tanpa alasan. Gadis itu mencoba mengalihkan perasaan tersebut dengan melakukan berbagai hal, mulai dari menonton drama korea, bermain dengan pelayan, hingga mencoret-coret buku gambarnya. Tadi siang, ia sengaja meminta Naresh membelikan buku gambar dan pensil karena ingin meminta Hiro mengajarinya menggambar malam ini. Aya tidak mengira jika pemuda itu akan pergi. Dan sekarang, dirinya harus bersusah payah menghilangkan perasaan gundah yang membuatnya kesal sendiri.

“Emang kenapa, sih? Biarin aja dia pergi,” ucap Aya pada dirinya. Ia duduk di ruang tamu sambil terus mencoret-coret buku gambarnya secara acak. Sesekali menuliskan nama Hiro di sana, lalu mencoretnya sampai tidak kelihatan. “Argggh! Gue kenapa, sih?”

Aya bersandar pada sofa, matanya tertuju ke arah pintu. Sekarang sudah pukul sepuluh malam, tetapi pemuda itu belum sampai di rumah.

“Pasti dia cantik banget.” Lagi-lagi Aya bergumam. Kemudian berdecak kesal pada dirinya. “Emang kenapa kalau dia cantik? Iri lo, ha?”

Selanjutnya Aya diam, menatap ke depan dengan bibir manyun. Ia baru menoleh ke arah lain ketika pintu terbuka dan Hiro muncul di sana.

Melihat Aya bungkam dan tidak langsung menghampirinya seperti biasa, Hiro mengerutkan kening.

“Ke—”

Nahasnya, sebelum Hiro selesai bicara, Aya sudah pergi, menjauh dari hadapannya.

“Ada apa dengan dia?” Hiro yang semakin bingung pun mendekati buku gambar yang terletak di atas sofa dan mengambilnya. Di sana ada banyak sekali coretan tidak jelas yang dibuat Aya. Hiro mendapati namanya juga. Hanya saja, ia tidak pernah menduga kalau akan menemukan kalimat ‘udah semangat mau belajar menggambar, dia malah nggak ada’.

Akhirnya, Hiro membawa buku gambar itu bersama paper bag pemberian Arabella untuk mencari Aya. Langkah Hiro tepat, karena ia langsung bisa menemukan gadis itu di ruang keluarga.

“Kamu mau belajar menggambar?” tanya Hiro setelah duduk di sebelah Aya. Gadis itu tidak menjawab, hanya berdecak dan kembali meninggalkan Hiro.

Hiro mengekori di belakang. “Ayana, tunggu.”

Ogah mendengar perintah Hiro, Aya langsung masuk kamar dan menutup pintu dengan suara keras, tepat di depan wajah pemuda itu.

Hiro mendengkus. Lalu mengetuk pintu. Pemuda itu memanggil lembut. “Ayana?”

Aya tidak menjawab.

“Kamu tidak jadi belajar menggambar?” 

“Nggak,” balas gadis itu kesal.

“Kenapa, hm?” Suara Hiro masih selembut sebelumnya.

“Kepo.”

“Kamu marah karena saya ke rumah Pak Bachtiar?” tanya pemuda itu sekali lagi.

Sontak Aya menyangkalnya. “Ngapain marah, emangnya Bapak siapanya saya?”

“Siapa tahu kamu marah karena kamu tidak jadi belajar menggambar gara-gara saya pergi ke rumah Pak Bachtiar.”

“Nggak, saya nggak marah kok. Cuma pengen tidur aja.” Sungguh, Aya tidak marah, dia hanya kesal. Aya tahu dirinya bukan siapa-siapanya Hiro dan dia tidak punya hak untuk bersikap seperti ini hanya karena Hiro menemui putri Pak Bachtiar. Tapi entah kenapa, Aya tidak bisa menahannya. Ketika tahu Hiro akan diperkenalkan dengan perempuan itu, gundah langsung menelusup ke dalam benaknya.

“Kalau begitu, selamat tidur, Ayana.” Hiro mengucapkan kalimat terakhir sebelum kemudian meninggalkan pintu kamar gadis itu.

***

Fix YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang