48. Segala Bentuk Penerimaan

1.9K 179 39
                                    

Tidak biasanya, Hiro benar-benar menjalani terapi hari ini, bahkan tanpa perlu diminta apalagi dipaksa. Demi apa pun, Anna dan Aya nyaris menangis haru melihatnya. Keduanya begitu setia menunggu kesayangan mereka hingga pemuda itu keluar.

“Hiro,” panggil Aya begitu Hiro telah keluar. Pemuda itu tidak langsung menjawab, ia justru mendekat dan mendekap Aya seerat yang ia bisa. “Kenapa? Dokter bilang apa?”

Hiro tidak menjawab, ia hanya meneruskan pelukannya pada Aya. Alhasil, Aya pun tidak bertanya lagi, ia membalas pelukan Hiro dan mengelus-elus punggung Hiro lembut. Sementara Anna memutuskan untuk meninggalkan Hiro berdua saja dengan Aya karena tidak ingin mengganggu keduanya.

“Saat di dalam tadi saya bercerita banyak hal kepada Dokter, dan rasanya begitu lega, selega saat saya memeluk kamu.”

Aya tersipu mendengarnya.

“Oh ya, setelah ini kita harus siap-siap karena nanti Abang akan mengajak kita jalan-jalan,” tambah Hiro lagi, ia berkata dengan senyum melebar dan semangat membara, sebab sudah tidak sabar ingin keluar dari tempat ini bersama Aya dan Mahesa meski tidak seberapa lama.

Aya mengangguk setuju.

“Kira-kira kapan ya Abang akan datang?”

“Mungkin nanti sore,” tebak Aya, ia pun tidak tahu pasti kapan Mahesa akan datang ke rumah sakit jiwa.

“Kalau begitu saya akan menunggunya datang sampai sore.” Setelah mengatakan itu, Hiro melepas pelukannya pada Aya dan beralih menggenggam tangan gadis itu. Ia membawa Aya ke ruangannya, di sana mereka lanjut bercerita tentang banyak hal. Lebih tepatnya, Hiro yang bercerita sedangkan Aya hanya mendengarkan sebaik-baiknya. Sesekali ia memegang tangan Hiro dan mengelus-ngelus rambut pemuda itu karena gemas.

Waktu berlalu, pelan-pelan siang berubah sore, Hiro sudah mandi dan berganti pakaian, sangat siap diajak jalan-jalan oleh Mahesa. Sedangkan Aya sengaja pamit pulang dengan alasan ingin mengganti pakaian. Aslinya ia ingin mencari Mahesa yang entah kenapa tidak membalas pesan atau menjawab panggilannya.

Sementara di sisi lain Mahesa masih sibuk melayani para pelanggan di café yang begitu banyak hari ini. Ia benar-benar kelelahan, fokusnya buyar, ia bahkan tidak sempat mengisi daya ponselnya yang sudah mati gara-gara kehabisan daya beberapa jam yang lalu. Yang ia fokuskan sekarang hanyalah melayani pelanggan yang sudah mengantri cukup lama.

“Abang!” Aya yang baru tiba di café memanggil, Mahesa yang baru selesai menaruh pesanan pelanggan di atas meja, menoleh ke arah adiknya dengan ekspresi terkejut.

“Apa?” Mahesa belum mengerti maksud Aya datang menemuinya di tempat ini.

“Kenapa Abang nggak angkat telepon aku?” tanya Aya tidak sabaran saat keduanya melangkah menuju area dapur.

Mahesa mengelap telapak tangannya menggunakan sapu tangan yang terletak di meja dapur. “Abang nggak liat HP. Emang kenapa kamu nelpon Abang?”

“Abang lupa?”

“Lupa apa?” Mahesa yang benar-benar sibuk betulan tidak ingat bila ia pernah menjanjikan sesuatu kepad Hiro.

“Janji Abang sama Hiro. Katanya Abang mau ajak Hiro jalan-jalan kalau dia mau terapi, dan sekarang dia lagi nunggu Abang nepatin janji itu,” jelas gadis itu cepat-cepat membuat Mahesa membatu, karena ia baru ingat pada kalimat yang pernah ia ucapkan di hadapan pemuda itu.

“Astaga Abang bener-bener lupa,” celetuk Mahesa seraya memegang kepalanya. Lantas ia menoleh ke arah Edo yang sibuk menyiapkan pesanan bersama para pekerja lain.

“Kenapa?” Edo yang penasaran sudah pasti bertanya.

“Do, gue pergi dulu, ya,” pamit Mahesa sembari melepas apron yang ia kenakan.

Fix YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang