Malam ini bumi New York sempurna basah diguyur hujan lebat, seharusnya aroma petrikor pekat yang menjamah olfaktori, bukan aroma obat-obatan yang mengukung di ruangan serba putih ini.
Harusnya, hujan di luar yang membuatnya kedinginan, bukan suhu ruang ICU yang terasa lebih dingin dari biasanya.
Hiro mengerjapkan mata perlahan, kemudian memandang sekitar hingga ia bisa menemukan Anna sedang berbicara dengan seorang pria berpakaian putih tidak jauh dari brankarnya. Ia tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, yang jelas Anna langsung mendekati Hiro tanpa tunggu lama. Sedangkan sang Dokter berlalu, meninggalkan Hiro dan Anna. “Syukurlah, Tuan, Anda sudah bangun.”
Bukannya memberi jawaban, Hiro malah menatap Anna dengan tatapan sayu. Lalu bibir pucatnya yang terselubung masker oksigen menggumamkan sebuah nama yang selalu ia rindukan di mana pun ia berada. “Oliver …”
Anna mengatupkan bibir rapat-rapat, menahan sesak yang menghujam dadanya selama beberapa saat. Lantas mencoba mengalihkan pembicaraan agar Oliver tidak menjadi pembahasan. “Tuan, Dokter bilang perlahan-lahan kondisi Anda semakin membaik, nanti kalau sudah benar-benar baik, Anda akan dipindahkan ke ruang perawatan.”
Tidak mendengarkan penjelasan Anna, mata Hiro kembali menerawang, meneliti ruangan putih dan peralatan medis yang terhubung pada dirinya. “Anna …” Hiro memanggil seraya beralih memandang Anna dengan tatapan tak bertenaga. “Apakah kita sedang berada di luar negeri?”
“Iya, Tuan, kita sedang di New York.”
“Kenapa kita di sini?” Hiro bertanya, suaranya masih selemah biasanya.
“Karena Anda membutuhkan pengobatan dan perawatan terbaik, Tuan.” Senyum hangat Anna mengembang, kentara bila wanita itu berupaya menenangkan. Hal itu menjadi semakin jelas saat Anna menyentuh tangan kiri Hiro yang terpasang infus. Sayangnya, Hiro langsung menariknya cepat.
“Saya tidak membutuhkan obat atau perawatan, yang saya butuhkan hanya Oliver,” balas Hiro ketus, deru napasnya yang kuat membuat uap di masker oksigen terlihat semakin jelas. “Panggilkan dia untuk saya.”
Anna bungkam. Setidaknya sampai Hiro mencoba mengubah posisi menjadi duduk secara tergesa-gesa. Nahasnya, upaya Hiro sia-sia, selain karena Anna menahannya, sakit yang mendera juga membuatnya kembali berbaring.
“Tuan, Anda tidak boleh banyak bergerak dulu.” Untuk ke sekian kalinya Anna menenangkan Hiro. Di saat yang sama Dokter laki-laki hadir bersama seorang perawat. Melihat mereka mendekat, Hiro kembali memaksa diri untuk bergerak, kali ini ia hendak turun dari brankarnya.
“Jangan mendekat!” titah Hiro keras, tapi tidak ada yang menghiraukan kalimatnya. Mungkin karena mereka tidak mengerti bahasanya. “I said, stay away from me!”
“Hiro—”
“Where’s my brother?! I really need to talk to him!” potong Hiro cepat, pupilnya melebar, menegaskan bila dirinya benar-benar menginginkan Oliver sekarang.
“You want to talk to your brother?” Dokter tersebut bertanya dengan nada begitu lembut, beliau terlihat penasaran. Ketika Hiro mengangguk, pria itu kembali bertanya. “What’s his name?” tanya beliau lagi padahal sebelumnya Anna sudah menceritakan tentang Hiro dan Oliver kepadanya. Mungkin saja, ini adalah cara sang Dokter membuat Hiro sedikit lebih tenang.
Dengan nada sedikit gemetar Hiro menjawab, “Oliver.”
“Can you tell me about him?”
Hiro mengangguk pelan. Kemudian ia mulai menceritakan tentang Oliver kepada sang Dokter pelan-pelan, ceritanya cukup panjang tapi didengarkan hingga selesai. Raut mereka menampilkan iba yang kentara terlebih saat Hiro mulai menangis.
“My Oliver … I really miss him.” Tangisan Hiro semakin menjadi-jadi sehingga ia mulai sulit bicara, membuat Dokter memutuskan untuk memeluknya dengan begitu lembut. Sedangkan Hiro menatapnya dengan mata memerah. “Doctor, can you bring my brother back to me? I really need him.”
Sang Dokter terdiam, tidak punya jawaban. Hiro sudah menduga, karena tidak ada yang tahu keberadaan saudaranya. Alhasil, Hiro ikut diam ketika sang Dokter mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Hiro memalingkan wajah dan tidak peduli lagi pada apa yang mereka lakukan. Karena satu-satu hal yang ia pikirkan sekarang adalah cara keluar dari tempat ini. Dan satu-satunya cara adalah dengan cara membiarkan mereka memberinya obat-obatan hingga kondisinya menunjukkan perkembangan.
Nanti, bila dia sudah diizinkan keluar, maka ia akan segera kembali mencari Oliver sekalipun ke ujung dunia.
***
Bagi kebanyakan orang, mungkin New York adalah kota yang indah nan ramai, sayangnya, Hiro tidak bisa merasakannya, sebab seriuh apa pun New York, isi kepalanya jauh lebih ramai, seindah apa pun New York, tetap Oliver yang ia inginkan.
Yang bisa Hiro rasakan adalah kesepian, kesedihan, dan kerinduan.
Ia menarik napas dalam-dalam dan menatap area taman rumah sakit. Ia duduk di kursi roda dengan pakaian putih rumah sakit membaluti tubuhnya. Selain itu, Anna juga menutupi area kakinya menggunakan kain yang cukup hangat dan tebal.
“Saya senang sekali ketika Dokter bilang Tuan sudah tidak perlu dirawat di ICU lagi.” Hiro memang merasa kesepian, tapi wanita ini tidak pernah membiarkan ia diam dalam waktu yang lama. Ia selalu mengajaknya bicara. “Saya sudah menunggu momen ini sejak sebulan yang lalu.”
Hiro diam saja.
“Saya sudah menelepon Haris dan Arasyi untuk memberitahukan kabar ini, Tuan. Mereka sangat senang mendengarnya. Arasyi bahkan berencana untuk membesuk Anda langsung ke sini.”
“Ayana itu ... siapa?” tanya Hiro tiba-tiba, sangat jauh melenceng dari pembahasan Anna, ia juga tidak tahu kenapa nama itu bisa terlintas di pikirannya. Yang pasti ia merasa mengenali sang pemilik nama.
“Em …” Anna menjeda kalimatnya. Menimang-nimang harus memberitahukan tentang Aya kepada Hiro atau tidak, sebab di satu sisi ia merasa kasihan pada gadis itu, tapi di sisi lain ia takut Mahesa kembali menyakiti Hiro ketika Hiro kembali kepada Aya. “Saya tidak tahu, Tuan.”
Hiro berusaha mengingat kembali tentang nama itu. Sayangnya, semakin ia berusaha, rasa sakit justru mendera kepalanya. Hiro memijat dahinya dengan jemari tangan kanan yang tidak diinfus.
“Tuan, tidak perlu memaksa diri untuk mengingat tentang pemilik nama itu, karena kalau orang itu orang terdekat Tuan, pasti saya dan Haris mengenalnya.”Hiro mengangguk pelan. Mungkin ‘Ayana’ hanya orang random yang tidak sengaja ia temui di suatu tempat.
“Tapi kalau dia tidak penting kenapa namanya begitu melekat di pikiran saya?” tanya Hiro sekali lagi karena entah kenapa ia merasa punya ikatan khusus dengan sang pemilik nama.
“Tuan, bagaimana jika Anda sarapan dulu, Anda belum sarapan ‘kan?” Lagi-lagi Anna membalikkan topik pembicaraan. Hiro menggeleng pelan, ia belum lapar dan tidak berniat sarapan. Ia ingin duduk di luar dan menatap langit New York lebih lama seraya menerka-nerka siapa sosok di balik nama ‘Ayana’ yang terus melintasi pikirannya.
***
Mau sad ending atau happy ending? Karena endingnya mau aku tulis ulang
KAMU SEDANG MEMBACA
Fix You
RomanceAya pikir, undangan interview dari Nolan Investment merupakan langkah pertama dari perubahan hidupnya menjadi lebih baik, namun, setelah pertemuannya dengan pemuda bernama Hiro Nicholas, alias pemilik perusahaan itu, Aya justru dihinggapi masalah be...