Part 10

590 25 0
                                    

.

Dua hari berlalu sejak aku terakhir kali bertemu pak Ashan di kampus. Kemarin aku kembali ke ruangannya dan berharap dia muncul tetapi tidak dia tidak muncul. Lalu pagi ini sejumlah besar uang masuk ke rekeningku dan aku tidak tahu dari siapa.

Aku menduga ini dari pak Ashan, tetapi aku tidak bisa bertanya atau mengonfirmasi apa pun karena aku tidak punya nomor ponsel pak Ashan. Aku mencoba bertanya pada teman-temanku tetapi mereka tidak ada yang punya. Hanya ada alamat emailnya. Lagipula, dari mana dia mendapatkan nomor rekeningku, juga masih sebuah misteri yang harus aku tanyakan langsung padanya.

Aku menatap layar laptop yang menampilkan halaman berwarna putih polos. Aku sudah mengetikkan alamat email pak Ashan sebagai alamat tujuan pesan, tetapi aku tidak tahu bagaimana harus bertanya. Ini hal baru bagiku dan aku merasa canggung. Aku juga khawatir jika ternyata bukan dia yang mengirimkan uang itu. Aku belum melakukan apapun yang pantas mendapat bayaran dari dia.

Aku membawa ke depan mulutku sebatang rokok menyala yang sudah sangat pendek. Aku menjepitnya diantara bibirku sebelum aku menghirup. Ujung puntung rokok lainnya menyala seperti terbakar, dan mengeluarkan asap kecil. Sebelumnya aku tidak tahu mengapa orang merokok, tetapi sekarang aku bisa merasakan bahwa merokok membantuku berpikir terutama saat aku merasa buntu saat mengerjakan tugas.

Aku mengangkat sedikit daguku lalu menghembuskan keluar asap rokok dari dalam mulutku. Asap keluar dengan perlahan lalu mengepul di depan wajahku. Setelah itu aku meletakkan kembali puntung rokok ke pinggiran wadah abu rokok, sebelum aku mulai mengetik.

Selamat malam,

Ini Dara. Saya tidak punya nomor kontak anda dan semua orang yang saya kenal juga tidak punya. Saya tidak ingin menyita waktu berhargamu tetapi saya perlu menanyakan tentang sejumlah uang yang tiba-tiba masuk ke rekening saya. Kabari saya jika itu memang dari anda. Jika ternyata itu bukan dari anda, maafkan saya karena saya tidak bermaksud apa pun.

Dara,

Aku bersandar kembali ke kursi setelah membaca kembali pesan singkatku. Aku segera kirimkan pesan itu. Aku memeluk lututku dengan lenganku, meletakkan daguku di atas lulutku, aku menunggu balasan darinya. Entah mengapa aku merindukan dia. Aku berharap kami bisa punya lebih banyak waktu bersama.

Terkesiap, aku mengangkat kepalaku dan mataku melebar melihat balasan dari pak Ashan yang langsung muncul. Walaupun aku menunggu dia membalas pesan emailku, aku tidak menyangka balasan datang secepat ini. Aku meraih mouse tanpa kabel dengan telapak tanganku, lalu mengklik, membuka pesannya.

Selamat malam Dara,

Aku bangun pagi ini dengan mimpi indah tentangmu mengisi tidur malamku. Aku jarang bermimpi dalam tidurku tetapi aku tidak menyalahkanmu. Kau dan payudaramu adalah hal terindah yang pernah aku sentuh. Aku mengirimkan untukmu sebagai hadiah untuk itu. Aku ingin mengabarimu, tetapi aku tidak tahu caranya. Terima kasih sudah menghubungiku.

Ashan,

Aku tersenyum konyol membaca pesan dari pak Ashan. Pada era yang semua serba mudah, orang-orang hampir lupa sensasi mengirimkan pesan, lalu perasaan berdebar menanti balasan seperti orang-orang jaman dulu. Aku tidak mengatakan bahwa sekarang tidak baik, tetapi ada hal-hal tentang berbagi pesan-pesan manis seperti ini.

Sebenarnya aku bisa saja mendapatkan nomor ponsel pak Ashan jika teman-temanku tidak terlalu dingin padaku. Mereka seperti melihatku sebagai seorang wanita dengan tulisan 'pelacur' di jidatku. Mereka bahkan tidak ingin pria mereka bertemu denganku karena aku akan merebut mereka. Aku tidak menyalahkan para pria jika mereka tertarik padaku, tetapi aku juga tidak bisa terus menyembunyikan payudaraku. Aku ingin orang mulai terbiasa dan menerimaku yang seperti ini. Aku tahu itu sangat sulit.

Broken Rose: Dara's Love Journey #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang