Part 13

603 29 0
                                    

.

Seperti seluruh udara tersedot dari paru-paruku, aku tidak bisa bernafas. Pandanganku mengikuti pak Ashan sampai ia berdiri di balik meja. Dia tidak melihat padaku tetapi aku tidak bisa tidak melihat padanya. Dia hampir sangat monoton. Kemeja berkerah, kadang bermotif, kadang polosan. Kemeja disisip dengan celana kain, serta ikat pinggang yang kadang tidak ia kenakan. Tetapi dia mengenakannya saat ini. ikat pinggang coklat tua.

Dia tampan. Jika aku sudah pernah mengatakannya maka aku harus mengatakannya lagi. Hanya beberapa hari tidak bertemu dan aku merasa dia sangat memesona. Padahal sebelum dia menciumku, saat aku masih menganggapnya membenciku, dia memang sudah terlihat tampan bagiku, tetapi tidak setampan sekarang.

Aku meraih semua rambutku yang panjang, aku sampirkan sehingga kulit leherku tidak tertutup apa pun. Aku memiringkan kepalaku, menembakkan tatapan nakal padanya begitu dia memperhatikan apa yang aku lakukan. Tetapi detik kemudian dia berpaling dan menatap ke belakangku, pada teman-temanku. Aku tersenyum dalam hati karena berhasil membuatnya merasakan bahaya.

Aku sibuk menggoda pak Ashan dengan mengigit bibirku, mengedipkan mataku padanya, tersenyum padanya. Sendirian duduk di barisan paling depan ini sepertinya pilihan yang sempurna.

Tidak perlu khawatir karena aku mengerti apa yang dijelaskannya. Aku sudah membaca materinya tadi pagi saat sarapan. Aku selalu menyiapkan diriku seperti itu. Sepertinya karena itu juga aku sering dinilai penuh ambisi. Padahal aku hanya merasa perlu bersiap-siap.

"Dara," panggilnya setelah dia menatap pada jam bundar yang bergantung di dinding, di atas pintu. Aku menatap padanya yang berdiri di belakang mejanya. Dia lalu menunduk, menulis pada secarik kertas. Aku menunggu. Semua kelas menunggu. "Anda harus melakukan sesuatu," katanya lagi saat tangannya masih sibuk menulis.

"Iya, baik pak." Aku menjawab dengan sopan. Apapun yang dia ingin aku lakukan, aku tidak mungkin menolaknya, bukan? Tetapi aku juga bingung mengapa dia memberikanku pekerjaan padahal sudah hampir jam selesai kelas.

Dia berhenti menulis, meletakkan kembali pena yang digunakannya untuk menulis. "Saya ingin anda mengantarkan ini kepada ke bu Anna sekarang juga." Dia memberikan kertas yang dipegangnya padaku begitu dia tiba di hadapanku.

Aku sedikit mengangkat pantatku dari kursi sebelum aku mengambil kertas dari tangannya. Tentu saja aku tidak melewatkan kesempatan untuk menyentuh tangannya yang memegangi kertas. Dia terkesiap tetapi dengan cepat mengendalikan dirinya, lalu berdehem.

"Baik, pak Ashan. Saya permisi kalau begitu." Aku tersenyum padanya sebelum aku mulai mengumpulkan Barang-barangku, memasukkannya ke dalam tasku.

Dia memintaku mengantarkan selembar kertas ini pada bu Anna. Sangat mencurigakan. Itu yang aku pikirkan sampai aku berhasil keluar dari ruang kelas, dan mataku membaca tulisan pada kertas.

Dara, kau sepertinya ingin membunuhku, bukan?

Sekarang juga, pergi ke ruanganku, ambil kunci mobil dengan gantungan warna merah. Cari mobilku di parkiran gedung fakultas manejemen. Masuk ke dalam mobil, dan tunggu aku disana. Jangan sampai ada yang melihatmu.

Sambil terus melangkah, aku tersenyum. Pak Ashan cerdas. Dia menahan semua orang di dalam kelas sementara aku pergi untuk bersembunyi di dalam mobilnya. Aku melangkah lebih cepat bahkan mulai berlari begitu aku sadar tidak punya banyak waktu lagi. Sedangkan gedung yang dimaksudkannya berada sangat jauh.

Begitu aku tiba di ruangannya, aku langsung menemukan sebuah buku di atas mejanya. Anehnya aku langsung terpaku menatap pada buku itu. Aku mengambil dan membuka buku, benar saja, dia menaruh kunci mobilnya di dalam buku ini. Tepatnya pada halaman tiga ratus dua puluh lima. Aku letakkan kembali buku, lalu berbalik untuk pergi ke tujuanku yang selanjutnya. Parkiran mobil.

Broken Rose: Dara's Love Journey #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang