Part 32

220 14 4
                                    

.

Keesokannya aku bangun dan aku tidak lagi mengenakan kain untuk menutupi pinggangku. Aku mengatakan pada pak Ashan tentang ketidak nyamananku dan meminta alamat rumah ini sehingga aku dapat membeli pakaian secara online. Tentu saja dia punya solusi yang lebih baik daripada itu. Dia menghubungi sebuah toko pakaian dan meminta mereka mengirimkan beberapa koleksi terbaru mereka ke rumah.

Aku menolak dengan sangat keras tetapi dia benar-benar sangat sulit untuk bisa mengalah. Akhirnya aku mengalah dan dua baju yang termasuk layak dan dua celana praktis menjadi pilihanku. Celananya yang satu denim model pensil dan yang satu lagi adalah celana dengan bahan kain yang sama baju berwarna hijau cerah. Ini adalah satu set. Aku menyimpan yang satu set untuk aku kenakan saat akan kembali ke Malaysia, sehingga aku mengenakan baju kaos tanpa lengan dan celana denim kejantanan.

Pak Ashan dan pak Fauzi memandikan ayah pak Ashan pagi ini. Aku membantu para pelayan untuk menyiapkan panggangan dan mengatur taman belakang rumah ini sebagai tempat berkumpul.

"Walaupun tuan besar tidak boleh mengunyah, acara panggang-panggang hari Ahad ini sentiasa diadakan kerana isterinya sangat seronok melakukan ini," kata seorang pelayan.

"Betul. Apalagi panggang-panggang ni juga seolah-olah merangsang ingatannya tentang isterinya, dan tuan besar mahu terus mengingatinya." Pelayan yang lain menambahkan.

Aku meletakkan tumpukkan piring di atas meja setelah mengangguk pada mereka berdua. Mereka semua sangat ramah, dan sangat terbuka. Mereka juga sangat peduli pada ayah pak Ashan. Orang-orang seperti mereka yang sangat setia seperti ini sulit dicari saat ini. Ayah pak Ashan pastilah seorang yang benar-benar baik sehingga tidak hanya satu, tetapi banyak orang yang bersedia mengikutinya.

"Tuan besar datang," kata seorang pelayan.

Aku berbalik ke arah pintu. Pak Ashan muncul bersama ayahnya dan juga pak Fauzi yang mendorong kursi roda ayahnya. Aku berpaling begitu ayahnya menatapku. Ingatan akan apa yang terjadi tadi malam membuatku menghindari tatapannya. Aku sangat memalukan.

"Sebelah sini tuan," para pelayan mulai bergeser dan menunjukkan tempat pada sisi meja yang sudah mereka sediakan untuk ayah pak Ashan. Mereka bergerak semakin dekat pada kami dan tanganku menggenggam sikuku dengan canggung.

"Tuan duduk kat sini." Pak Fauzi mengatakannya sebelum dia menuju pada pangganggan.

Pak Ashan mengahmpiriku, menyentuh pinggangku. "Mengapa kau hanya berdiri? Duduklah." Dia berbisik padaku.

Masih dengan canggung dia membimbing aku sehingga kami duduk pada bangku di sisi lain meja kayu ini. Aku melihat dari ekor mataku dan ayah pak Ashan tidak begitu memperhatikanku. Dia lebih tertarik untuk berbicara pada pak Fauzi, memberikan instruksi khusus bagaimana semuanya harus dipanggang. Lalu mereka juga sesekali melemparkan candaan.

Suasana yang sangat hangat walaupun mereka bukan keluarga kandung. Sangat menyenangkan memiliki orang-orang ini di sekitarmu. Lalu aku mengamati dengan diam-diam ayah pak Ashan dan sepertinya pak Ashan benar. Ayahnya tidak ingat lagi apa yang terjadi tadi malam. Aku lega kalau memang seperti itu. Baginya juga pasti sangat memalukan, menyaksikan menantunya yang sedang menghisap kejantanan putranya.

"Mari sini, saya bantu," kata pak Ashan membuyarkan lamunanku. Dia lalu berdiri, meninggalkanku dan ayahnya berdua di meja ini. Tiba-tiba aku kembali tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku kembali canggung.

Aku duduk dengan tegang dan punggungku tegak. Ayah pak Ashan tiba-tiba menoleh padaku dan aku terkesiap.

"Saya minta maaf, tetapi siapa awak?" tanyanya dengan lembut.

Aku melebarkan mataku. Aku tidak yakin jika dia sedang bercanda, sehingga aku tidak bisa tertawa. Wajahnya bahkan menunjukkan bahwa dia benar-benar tidak mengenalku. Pikiranku sibuk menimbang bagaimana aku harus menjawab pertanyaan ini. Apakah aku harus jujur atau aku hanya mengatakan sesuatu yang aman.

Broken Rose: Dara's Love Journey #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang