Part 22

210 23 1
                                    

.

Aku menutup laptopku sebelum aku menoleh ke tempat tidur. Sudah jam delapan malam dan kak Citra belum juga bangun. Dia mabuk, dan mungkin dia butuh istirahat lebih lama agar bisa kembali pulih saat bangun. Aku mengerti, namun sudah berjam-jam aku dibiarkannya bertanya-tanya apa yang telah terjadi.

Aku menghembuskan napas berat. Tugas kuliahku yang akan dikumpulkan besok sampai hari Kamis sudah aku selesaikan. Hari Jumat tidak ada tugas lagi dari pak Ashan. Hanya tinggal satu tugas terakhir yang masih harus aku kerjakan bersama Kenji.

Menyentuh pangkal batang hidungku, aku memijat pelan tulang tengkorak bagian hidung. Aku butuh lebih banyak asupan aliran darah ke mataku yang mulai lelah karena menatap layar laptop hampir dua jam lamanya.

Aku terkesiap begitu rancauan kecil terdengar, dan kak Citra bergerak seperti sedang mengigau. Aku menunggu apakah dia akan bangun tetapi ternyata tidak. Dia kembali terdiam dan ruangan kembali senyap.

Alisku terangkat karena ini sudah lebih dari cukup aku menunggunya untuk bangun. Tetapi sebelum itu ada hal penting yang harus aku lakukan terlebih dahulu. Aku meraih ponselku yang aku letakkan di seberang meja. Aku menekan pada ponselku untuk membuat panggilan telepon pada Efran.

Berdiri dari duduk, langkah kaki membawa aku ke arah pintu. Dengan cepat aku menarik dan membuka pintu sebelum aku melangkah keluar. Sudah dering ketiga kali dan Efran belum menangkat teleponku. Dia mungkin sedang bingung sekarang. Bingung tentang apa yang terjadi di kelas, juga karena mengapa aku meneleponnya saat ini.

Panggilan tidak terjawab, dan aku bergegas menuruni tangga apartemen. Aku perlu berada jauh dari jangkauan pendengaran Gina jika tidak ingin dia kembali membicarakan hal jahat tentang aku. Dia sudah pulang. Aku mendengar pintunya terbuka sesaat setelah aku mulai menyalakan laptop untuk mengerjakan tugas-tugasku.

Aku menekan kembali pada layar ponsel untuk membuat panggilan lainnya. Aku lega karena baru saja terdengar dering pertama panggilan kali ini dijawab Efran.

"Halo?" sapanya dari ujung panggilan. Aku melangkah dengan cepat hingga aku tiba di pinggir jalan di depan apartemenku. Disini cukup jauh sehingga Gina tidak mungkin mendengarku.

"Efran, aku tidak tahu apa yang terjadi, tetapi kak Citra mendatangiku." Aku memutuskan untuk langsung mengatakan apa masalahku. Persahabatan kami mungkin sudah berubah walaupun dia masih menganggapku sahabatnya, aku merasa tidak bisa melakukan hal yang sama.

"Apa?" tanyanya lagi, lebih seperti dia terkejut.

Aku menghembuskan napas berat. "Dia sedang tidur di kamarku. Dia mabuk." Aku juga perlu memberitahu Efran situasi itu karena aku tidak punya siapa-siapa selain dia yang dapat menolongku sekarang. Walau apa pun yang terjadi di antara kami, hanya dia satu-satunya orang yang bisa aku andalkan selama aku disini.

"Baiklah, aku akan segera ke tempatmu. Pastikan dia tidak disitu sampai aku tiba." Dia mengatakannya dengan panik sebelum mematikan panggilan telepon.

Aku menurunkan ponsel dari telingaku. Aku menatap ke sekelilingku dan sekarang sudah mulai gelap. Ini hari yang sangat panjang. Bahkan ini belum berakhir sampai benar-benar berakhir.

Tatapanku kembali turun dan aku menatap pada pintu kamarku. Tiba-tiba terpikirkan olehku bahwa aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi sebelum Efran tiba dan membawa kak Citra pergi. Aku mengangguk karena itu terdengar seperti ide yang lebih baik. Jika Efran berhasil membawanya maka aku tidak akan pernah tahu apa yang terjadi.

Aku tidak peduli. Setidaknya aku berusaha tidak peduli pada mereka yang sudah menemukan kebahagiaan mereka. Seperti Alex dan kak Citra. Aku juga sudah sering mengingatkan diriku sendiri untuk melupakan Alex yang adalah untuk kak Citra. Tetapi rasa ingin tahuku mendorongku dengan sangat keras, membuatku melangkah dengan cepat untuk kembali ke apartemenku.

Broken Rose: Dara's Love Journey #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang