Jantung ku berdetak kencang melihatnya. Kedua mata ku melebar tak percaya. Nafas ku tersedat tak dapat keluar. Sekujur tubuh ku kaku.
Tae.
Orang biasa aja sebenernya wkwkwk.
Tapi, Ya Tuhan, tetap saja aku tidak percaya apa yang sedang aku saksikan saat ini.
Aku masih di samping panggung saat keempat bule teman ku memainkan lagu Year 3000, mengintip ke arahnya, menatap setiap gerak geriknya.
Aku benar-benar tidak percaya.
Aku mengambil handphone ku yang terselip di saku celana, membuka kontaknya, dan menghubunginya.
Ku tunggu. Dan benar saja, dia mengambil handphone nya dari atas meja, menatap nya, dan meletakkan nya lagi. Ya. Dia tidak mengangkat telefon yang kemungkinan besar adalah dari ku.
Aku menatapnya lagi setelah kembali menyelipkan handphone ku ke saku celana. Dia mengangguk-anggukan kepala seraya menatap keempat bule yang harusnya dia tau, mereka adalah teman ku, Ya tuhan.
Memerhatikannya membuat ku lupa bahwa aku seharusnya juga menikmati lagu-lagu yang Calum, Ashton, Luke dan Michael bawakan saat ini, karena memang itu niat awal ku. Namun lagu Teenage Dream yang sekarang mereka mainkan tidak kurasa menyenangkan sebagaimana mestinya begitu aku tau air mata mengalir di pipi ku.
Untuk apa dia di sini? Apa yang dia lakukan? Dan bersama siapa dia? Ya Tuhan, semua pertanyaan itu rasanya ingin aku utarakan dengan satu tamparan di wajahnya, namun harus ku tahan karena aku belum mendapatkan bukti kuat atas apa yang ku lihat ini.
aku mencoba mengirimkan pesan kepadanya, bertanya ada dimana dia saat ini, kalau kalau mungkin saja dia akan membalas dan menjelaskannya.
Aku terlalu serius memerhantikannya untuk menyadari bahwa Calum, Ashton, Luke dan Michael sudah turun panggung. "How was it?," Ashton menepuk kedua pundak ku yang membelakangi mereka.
Lalu aku membalikkan badan secara spontan, menyuguhkan mereka mata merah pasca tangisan singkat ku baru saja. Dengan cepat aku menyeka mata dengan punggung tangan ku, "yeah, yeah, you did great". Padahal aku sama sekali tidak memerhatikan apa yang mereka mainkan baru saja.
"What's going on?," mata Ashton melebar ketika menyadari apa yang ditatapnya saat ini. Ya; mata ku.
Pertanyaan itu. Pertanyaan singkat yang harusnya tidak bermakna terlalu dalam, namun pertanyaan itu membuat air yang ku bendung kuat-kuat di kantung mata jadi berjatuhan seketika.
Ashton masih berdiri di hadapan ku dengan rambutnya keluar dari jalur bandananya secara acak.
Kini rasanya aku tidak tahan lagi untuk tidak memeluk pria ini, jadi aku mengatup leher Ashton dengan kedua lengan ku dan menenggelamkan wajah jelek ku yang menangis ke dadanya. Yang bisa ku dengar saat ini hanyalah suara yang keluar dari kerongkongan ku, suara raungan kecil yang terakhir kali ku ciptakan sekitar empat tahun lalu, saat aku terjatuh dari motor. Tapi ternyata rasa sakit ku kali ini lebih perih daripada hanya sekedar terjatuh dari motor.
Ashton mengusap pelan pundak ku, lalu naik ke kepala ku, tidak berkata apapun selain terus mengusap kepala ku yang berada tepat di bawah dagunya.
"What's happening?". Aku masih bisa mendengar suara Michael yang mungkin baru saja menyadari bahwa aku menangis.
Dan aku tidak menjawabnya. Tidak untuk saat ini.
Aku menelan ludah dan mengatur napas, lalu perlahan-lahan aku melepaskan wajah ku yang tadi menempel pada dada Ashton, yang kini meninggalkan bekas basah di kaos hitamnya, "I'm sorry, I wasn't supposed to". Namun nafas ku masih agak tersedak, menghasilkan segukan-segukan hebat.
KAMU SEDANG MEMBACA
AUSTRALIANS [5SOS]
FanfictionMichael lalu mengotak-atik ponsel Luke, seperti ingin memberi tahu ku sesuatu. "The producer from a famous record corporation in our hometown," katanya sambil terus memainkan handphone Luke, membuka youtube, "he commented on our video". Michael mema...