Bagian XXXV: Go Home? GoJek!

13.6K 1.9K 658
                                    

Hanya 50 menit lamanya penerbangan kami. Membuat kami akhirnya tiba di Jakarta pada pukul dua sore.

Senyum ku melebar saat kembali melihat keramaian Soekarno-Hatta di sore yang terguyur hujan gerimis ini. Akhirnya kami tiba dengan selamat.

Badan ku sudah pegal-pegal dan aku tidak sabar untuk tiba di rumah.

Kami berlima berjalan ke tepi untuk menuju pangkalan taksi. Tepatnya taksi gelap langganan ayah ku, karena kenapa harus menyewa dua taksi sempit saat kau bisa menyewa satu taksi gelap yang lebih lega.

Butiran air hujan menghantam kaca film mobil avanza yang kami tumpangi. Bagaimana udara AC di mobil ini terasa lebih dingin dari seharusnya. Tumben sekali Jakarta di guyur hujan seperti ini.

Untungnya si supir taksi gelap kenalan ayah ini lumayan lancar berbahasa inggris sehingga suasana di dalam mobil ini tidak sedingin udaranya. Dan juga, aku bisa mengistirahatkan diri sementara mereka mengobrol dengan si supir.

Aku terbangun karena hembusan AC yang kini lebih menusuk tulang.

Sedikit demi sedikit mata buram ku kembali beradaptasi dengan cahaya. Namun, bukan bayangan rumah yang ku dapatkan melainkan. Monas.

Monas loh guys.

Aku mengerutkan dahi dengan mata yang masih mengantuk dan bertanya kepada si supir mengapa kami ada di parkiran monas? Iya, tepat di parkiran monas.

Lalu si supir mengatakan bahwa mereka, keempat bule kesurupan ini, memintanya untuk mengantar kami ke monas.

"Please, Janice,9 this is our last day here, just let us going up there," Michael tidak seperti biasanya, kali ini ia memohon dengan wajah anak kucing.

Baiklah. Tapi maksud ku, seharusnya kami bisa pulang dulu dan beristirahat sebentar sebelum pergi ke sini, bukannya malah langsung meluncur begini.

Aku menggosokan telapak tangan ku ke wajah, antara untuk menciptakan kehangatan atau karena terlalu muak dengan mereka.

Aku membuka pintu setelah mengatakan bahwa uangnya nanti akan dibayarkan ayah ku via bank karena uang ku habis tak bersisa. udara monas tidak panas seperti biasanya setelah diguyur hujan walaupun matahari sudah mulai kembali muncul.

Kami berjalan ke arah monas dengan Michael yang berjalan loncat-loncatan.

Aku sendiri belum pernah masuk dan naik ke atas monas. Jadi aku tidak bisa memengaruhi mereka dengan kesan buruk sejak aku juga penasaran dengan apa yang ada di dalam sana.

"I like the summer rain," Luke tersenyum seraya berjalan di samping ku sambil menghirup dalam-dalam udara sore monas. Sangat indah.

Aku tergelak sebentar, terlalu gugup memerhatikannya, "but it's not summer in here".

Ia memejam, menyadari kebodohannya sendiri lalu tertawa, "sorry, its summer in Sydney".

Aku lebih suka mendengar suara mu daripada hujan di musim panas, Luke.

Kami berlima menyesali keputusan pengurus Monas apapun itu namanya karena menetapkan pukul dua menjadi jam kunjungan terakhir untuk museum, jadi kami hanya memutuskan untuk naik ke pelataran bawah monas karena saat kami tadinya memutuskan untuk naik ke pelataran puncaknya, ternyata terpaksa di tutup karena cuaca yang kurang baik.

Banyak orang namun tidak terlalu padat. Aku penasaran apa yang benar-benar mereka cari dari atas sini? Hanya pemandangan Jakarta yang lumayan namun tidak terlalu menarik. Entahlah, mungkin hanya aku yang berpikir seperti itu.

"Don't they have a tour guide or something?," tanya Calum bingung setelah hanya melihat-lihat kota dengan telanjang mata tanpa teropong karena ya, semua teropong dipenuhi orang. "Tell me anything about this city".

AUSTRALIANS [5SOS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang