❝Maaf hanya sebuah kata, lukanya tetap terasa nyata.❞
𖤓 𝕾𝖊𝖓𝖏𝖆𝖐𝖆𝖗𝖆 𖤓
Sudah satu jam lamanya, Rajehan berdiri di sana sembari terus merapalkan doa untuk temannya yang sedang berjuang diselamatkan di dalam ruangan. Rajehan terus berharap dan mengatakan ribuan kata semangat di dalam hatinya untuk Alkara.
"Gua tau lo kuat. Lo ngga selemah ini."
Rajehan sontak berdiri kala ujung matanya menangkap dokter yang menangani Alkara di ruang UGD, berjalan keluar bersama seorang suster.
"Dok, gimana keadaan temen saya?" tanya Rajehan.
"Apakah ada keluarga pasien?" Bukannya menjawab pertanyaan Rajehan, sang dokter malah balik bertanya.
Rajehan terdiam, keluarga Alkara? Rajehan bahkan tidak mengetahuinya. Alkara tinggal sendirian, dia tidak tahu di mana kedua orang tua temannya itu berada. Di ponsel Alkara juga tak ada kontak atas nama ayah ataupun ibu.
"Engga ada, dok. Saya saja," jawab Rajehan membuat dokter menimang.
Sang dokter kemudian menggeleng pelan, "saya harus bicara dengan keluarga pasien."
Rajehan menggeram kesal. "Apa ngga bisa saya aja, dok?"
Sang dokter menggeleng pertanda tidak. Dia melangkah dari sana meninggalkan Rajehan yang terlihat menggeram marah. Belum jauh sang dokter melangkah, sebuah suara menginterupsi.
"Saya pamannya."
Mereka serempak menoleh ke arah sumber suara. Seorang pemuda menggunakan jas dokter berdiri di sana. Menatap datar ke arah mereka.
"Dokter Gibran?" tanya sang dokter yang menangani Alkara.
Dokter Gibran mengangguk. "Dia keponakan saya," jelasnya.
Mereka kemudian berlalu, menuju ruangan sang dokter yang menangani Alkara untuk membicarakan penyakit yang di derita pemuda itu. Rajehan bernapas lega dengan kehadiran Gibran.
Matanya terpaku pada brankar Alkara yang di bawa keluar, dipindahkan menuju ruang rawat. Alkara sudah terlihat lebih baik dari sebelumnya. Rajehan mengikuti pergerakan suster yang mendorong brankar Alkara masuk ke dalam sebuah ruangan.
Sedangkan, di sisi lain, Gibran mendengarkan dengan saksama penjelasan dari dokter yang menangani keponakannya di ruang UGD. Dia hanya berharap, tak ada lagi luka lain yang anak itu derita.
"Dokter Gibran, karena kita sesama dokter, saya yakin anda mengerti perkataan saya."
Jantung Gibran berdegup lebih kencang. Kepalanya dihinggapi banyak pertanyaan, tentang apa yang akan beliau jelaskan padanya.
Dokter tersebut mulai menjelaskan beberapa kalimat yang dapat dipahami dengan jelas oleh Gibran. Gibran hanya bisa terdiam tak berkutik sedikitpun selama mendengar penjelasan dari beliau.
Gibran kemudian keluar dari dalam ruangan sang dokter dengan perasaan yang berkecamuk. Di matanya terbentuk genangan kristal bening yang bisa meluncur kapan saja.
Kakinya melangkah berjalan menuju ruang rawat Alkara. Pintunya sedikit terbuka sehingga Gibran dapat melihat isi di dalam ruangan itu.
Dapat ia lihat bagaimana tubuh keponakannya terbujur kaku dengan alat bantu pernapasan yang terpasang di tubuhnya. Hatinya teriris melihat pemuda itu hanya terdiam tanpa suara dan tanpa binar hangat yang memancar dari matanya.
"Kerusakan ginjalnya sudah di tahap permanen. Penyakitnya juga mulai menimbulkan kerusakan hati. Kita harus dengan segera mencari pendonor ginjal untuknya. Atau, dia tidak akan selamat."
KAMU SEDANG MEMBACA
SENJAKARA
Teen FictionTentang Senja Kanista Niharika, lahir ketika bumantara memancarkan cahaya jingga. Senja yang penuh rahasia, Senja yang sangat cerewet namun pendiam dan Senja yang lemah namun menyerang dengan kata-katanya. Senja dan perputaran semesta. Pertemuan san...