❝Akan selalu ada, sisi manusia yang tak akan pernah ditunjukkannya.❞
𖤓 𝕾𝖊𝖓𝖏𝖆𝖐𝖆𝖗𝖆 𖤓
Mentari kembali menampakkan eksistensinya. Kicau burung ikut menyemarakkan suasana pagi hari. Langit biru yang cerah, menambah kesan suasana pagi yang lebih terasa menyambutnya.
Senja menatap pantulan dirinya di kaca rias miliknya. Matanya membengkak karena seharian menangis. Kemarin mungkin dia sangat terluka, namun dirinya harus terus berjalan mengikuti perputaran semesta.
Senja memoleskan bedak padat di wajahnya secara merata, berharap dapat menutupi matanya yang membengkak. Sekaligus menambahkan polesan warna merah muda pada bibirnya. Sempurna, setidaknya wajahnya terlihat lebih cerah.
Dia harus kembali bersekolah, karena ini adalah hari Senin. Waktu terasa berjalan dengan lebih cepat beberapa hari belakangan. Tak terasa juga sudah sekitar 1 minggu berlalu sejak perlakuan yang ia terima dari Niadira.
Senja melangkah menuju meja makan yang di mana telah ada Sierra dan Kizel yang telah menunggunya. Mereka berdua diam tanpa suara, membuat hening tercipta di sana.
Kedatangan Senja, membuat Sierra mengalihkan pandangannya. Dia menatap dengan penuh senyum ke arah anak bungsunya itu. Dirinya memancarkan senyum bahagia menyambut Senja di meja makan.
Senja mengambil posisi duduk di seberang Kizel, tangannya segera mengoleskan selai di roti miliknya. Hening tanpa mengeluarkan suara sedikitpun dari mulutnya.
Sierra menatap sendu ke arah Senja yang tak terlihat ceria seperti biasanya. Matanya beralih menatap putra sulungnya yang juga memilih diam tanpa mengeluarkan suara.
Dengan perlahan, Sierra menggapai tangan Kizel, memberikan usapan di sana. Kizel mengangkat kepalanya, pandangannya bertemu pada satu titik yang sama dengan Sierra.
"Bunda ngga tau kalau kepergian ayah kalian masih menjadi hal yang begitu menyakitkan bagi Senja."
Kizel hanya terdiam, mendengarkan Sierra menyelesaikan perkataannya sembari memandangi langit malam dari taman belakang rumahnya.
Jika Sierra sang ibu kandung saja tidak mengetahui apa yang anaknya simpan, apalagi Kizel yang hanya sebagai saudara kandungnya. Kizel merasa bukan kakak yang baik, bahkan dia sepertinya tidak tahu apa-apa tentang Senja.
"Bunda kira, setelah Senja mengalami kecelakaan, menderita depresi dan di diagnosis memiliki amnesia, dia sudah melupakan semuanya. Ternyata, Bunda salah ya, Bang?"
Sierra menatap putra sulungnya. Jika diamati dengan sangat, Kizel sangat mirip dengan Halil—almarhum suaminya.
"Adek kamu terlalu terluka, sampai-sampai dia memilih memendam semuanya sendirian. Dia memilih bertahan dengan menyimpan lukanya dalam-dalam."
Kizel hanya bisa terdiam, benar apa yang Sierra katakan. Senja bertahan untuk hidup lebih lama dengan menyimpan rasa sakitnya sendirian, yang mana itu malah menjadi bom waktu baginya.
"Bunda takut, Bang," lirih Sierra menatap lamat ke arah anak sulungnya.
"Bunda takut kehilangan Senja. Bunda takut kejadian 5 tahun yang lalu terulang lagi."
Kizel membeku, hatinya terluka mendengar penuturan Sierra. Kizel tidak akan pernah membiarkan dirinya kembali kehilangan, apalagi karena kejadian yang sama, yang merenggut ayahnya.
"Bang, tolong pastikan adek kamu terus bahagia, ya? Bunda hanya ingin melihat senyum dan tawa kalian setiap saat, sebelum Bunda kembali kehilangan."
KAMU SEDANG MEMBACA
SENJAKARA
Teen FictionTentang Senja Kanista Niharika, lahir ketika bumantara memancarkan cahaya jingga. Senja yang penuh rahasia, Senja yang sangat cerewet namun pendiam dan Senja yang lemah namun menyerang dengan kata-katanya. Senja dan perputaran semesta. Pertemuan san...