❝Selama apapun ditutupi, kebohongan tidak ada yang abadi.❞
𖤓 𝕾𝖊𝖓𝖏𝖆𝖐𝖆𝖗𝖆 𖤓
Tangannya terkepal kuat, dirinya marah. Namun, tak dapat berbuat apa-apa. Tanpa sengaja, dirinya mengetahui sebuah kebohongan yang selama ini menipunya. Dan sialnya, dirinya juga ikut tenggelam dalam kebohongan itu.
"Kenapa saat lo bisa berkata jujur, lo lebih memilih buat berbohong?"
Telinganya menajam, menyimak dengan penuh teliti percakapan dua insan yang dulunya saling mencintai. Dirinya sudah terlanjur mengetahui beberapa kenyataannya, jika dia pergi begitu saja, rasanya akan sia-sia, sekalian saja dirinya mengetahui kenyataan yang lainnya.
"Lo tau rasanya tertancap belati dengan dalam? Bukan cuman diri gue yang kesakitan, tapi juga bagian di dalamnya."
"Mental gue berantakan saat tau ayah udah ngga ada. Rasanya gue mau menenggelamkan diri, ikut ayah," sambungnya.
Jawaban yang perempuan dengan cepol rambut asal itu lontarkan, berhasil membuat pemuda yang tengah menguping dengan kepalan tangannya merasa murka.
Dia marah, marah pada dirinya sendiri dan marah pada kenyataan. Kenyataan yang di mana dia tidak pernah mengetahui kejelasan atas semua yang hinggap di hidupnya.
"Gue memilih buat melupakan semuanya dan menganggap semuanya seolah ngga pernah ada. Semua bagian dari kehidupan gue."
Pemuda itu tak dapat lagi menahan amarahnya. Kakinya berniat melangkah maju ke arah mereka. Namun, sebelum kaki itu dapat mendarat dengan sempurna untuk melangkah, niatnya harus terurung karena tepukan pelan di bahu kirinya.
Lantas, ia berbalik, pandangannya bertemu dengan insan bernetra cokelat hazel indah di hadapannya, Sierra. Senyum tipis tercetak di wajahnya.
"Ngapain?" tanyanya tanpa suara.
Sierra seolah paham bahwa anak sulungnya itu tengah mendengarkan percakapan dua insan yang sedang berbicara empat mata. Juga tak ingin mengganggu dengan suara yang keras.
Kizel menggeleng sembari mendorong pelan tubuh Sierra, membawanya menjauh dari sana. Sierra kebingungan dengan sikap putra sulungnya itu. Begitu suara yang sangat ia kenali, suara anak bungsunya menyapa telinganya, kakinya terhenti dan matanya menatap dua insan di depan sana.
"Gue ngga pernah lupa sama semua kejadian di hidup gue, begitupun dengan lo, Aje."
Sierra terdiam. Mencerna segala ucapan Senja yang menyerang indra pendengarannya. Netra matanya beralih menatap anak sulungnya meminta penjelasan. Namun, tak ia temukan jawaban.
Kakinya melangkah perlahan menuju dua insan yang teralihkan perhatiannya karena panggilan Kizel. Sierra seolah tak mendengarnya, tatapan matanya lurus menatap Senja yang balas balik terkejut menatapnya.
Senja bangkit dari duduknya, berdiri tepat di depan Sierra yang menatap Senja dengan mata memerah berair. Senja tak mampu mengeluarkan suara sedikitpun begitu netra hazel seperti miliknya itu menatapnya lekat.
"Apa maksud kamu Senja?" tanya Sierra, bermaksud mempertanyakan semua perkataan Senja yang terucap.
Senja meneguk salivanya susah payah, Sierra begitu lekat menatap netra kembar yang sama seperti miliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SENJAKARA
Roman pour AdolescentsTentang Senja Kanista Niharika, lahir ketika bumantara memancarkan cahaya jingga. Senja yang penuh rahasia, Senja yang sangat cerewet namun pendiam dan Senja yang lemah namun menyerang dengan kata-katanya. Senja dan perputaran semesta. Pertemuan san...