31 › bagaimana?

672 77 6
                                    

a little cross-book.

d e s p e r a d o

Sudah seminggu pasca terungkapnya kehamilan Raiga, rumah menjadi amat sunyiㅡYudhis yang biasanya selalu duduk di ruang utama pun selama seminggu ini memilih berada di dalam kamar atau ruang kerja sepulang dari kantor, kepala keluarga Abisatya itu juga sengaja menghindari adiknya, Madava yang berusaha mengajak berbicara. Winatha pun sama, mengabaikan Madava dan fokus menjaga kondisi Raiga yang rawan mengalami sesuatu.

Tiga hari lalu Avgian Phalyn sudah berpulang ke Kanada karena dirasa sudah tidak ada yang perlu ia lakukan, Madava sudah memiliki seseorang yang bahkan sudah memberikan keturunan untuk dominan itu, sedih? Jangan ditanyakan lagi.

Sekarang di rumah itu hanya ada keluarga Abisatya, benar-benar Abisatya.

Masih lengkap mengenakan atribut sragam sekolah, Raiga yang baru saja pulang sekolah itu sengaja melewati ruang kerja sang Ayah yang pintunya sedikit terbuka. Langkah pemuda itu berhenti tepat di depan pintu, telinganya samar-samar mendengar suara tangis dari dalam ruangan, tangis yang berhasil membuat hatinya sakit karena rasa bersalah yang selama seminggu ini menghantuinya.

Raiga meraih gagang pintu dan perlahan mendorong masuk, terbuka, ia memasuki ruangan dan melihat sang Ayah duduk di kursi kerja dengan memegang foto keluarga yang berisi tiga anggotaㅡYudhis, Winatha dan Raiga.

"Ayah.."

Yudhis mengalihkan pandanganya dari foto keluarga, melihat Putra semata wayangnya berdiri di depan pintu, Yudhis menghapus jejak air matanya lalu berdehem sembari meletakkan foto Keluarganya itu. "Oh, kamu sudah pulang? Kalau begitu, beristirahatlah di kamarmu."

Tersentuh, Raiga justru mendekat dengan memberi jarak satu meter dari meja kerja Yudhis.

"Ada apa? Ayah meminta kamu beristirahat dan jangan lama-lama melakukan aktifitas." Yudhis bangkit dari duduknya, mendekati sang Putra yang tidak kunjung keluar dari ruangannya.

"Maaf, Ayah.." Lirih Raiga perlahan duduk berlutut saat Yudhis sudah berdiri di hadapannya, "Aku minta maaf karena semua ini terjadi, maafkan aku yang membuat Ayah kecewa.. maaf," Menahan tangis sebisanya, Raiga menyatukan kedua telapak tangannya sembari menunduk membuat air matanya luruh perlahan.

Yudhis tertegun melihat Raiga, "Raiga, kamu tidak perlu seperti ini." Ia menepuk pelan bahu Putranya, "Semua sudah terjadi, kedepannya Ayah hanya ingin kamu hidup dengan baik, kamu mau kan mendengarkan Ayah?"

Raiga mengangkat wajahnya untuk menatap sang Ayah yang terlihat sekali sedang lelah, mungkin kelelahan terbesar Ayahnya itu adalah menghadapi tingkah lakunya yang keterlaluanㅡRaiga akui menyesali, "Aku akan mendengarkan Ayah.. tapi, kumohon jangan minta aku untuk mengaborsi kandunganku, Ayah.." Menyatakan batasan, Raiga memohon segenap hatinya, "Aku memang tidak menginginkan bayi ini.. tapi, bayi ini tidak bersalah sehingga tidak harus disingkirkan."

Diam-diam Yudhis menyadari jika Putra semata wayangnya ini memiliki sifat bertanggung jawab, lantas Yudhis menarik pelan lengan Raiga supaya bangkit dari posisi berlutut. "Tidak, Ayah tidak akan meminta kamu melakukan itu, Raiga." Ujarnya menenangkan.

Merasa lega teramat, Raiga menatap sang Ayah. "Lalu, apa..?"

Yudhis terdiam sejenak sebelum berbalik bertanya, "Kamu yakin aku mendengarkan Ayah?"

Raiga mengangguk lugu.

"Kamu ingat Bibi Elle?"

Lagi-lagi Raiga mengangguk, "Bukannya beliau masih berada di Lombok? Kenapa dengan beliau?"

"Ya," Jeda Yudhis dengan tatapan teduh menatap Raiga yang tampaknya kebingungan karena tiba-tiba ia menanyakan tentang wanita paruh baya yang merupakan tetangga mereka saat masih tinggal di Lombok, "Setelah nanti bayi kamu lahir, kita berikan pada Bibi Elle ya?"

Desperado Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang