Renjun berjalan tergesa menuju halte bis, ia pikir dirinya akan datang terlambat ke restoran. Apalagi sebelum ia mencapai halte, ia justru bertemu seseorang yang membuat ingatannya memutar tentang bagaimana ia adalah sosok yang penuh dosa.
"Kak Lais..." Renjun tak berani menyebut nama orang yang bersama wanita itu, karena sekarang di kepalanya semakin penuh dengan ingatan kegiatan malamnya dengan laki-laki itu.
Iya, kak Lais bersama seseorang yang pernah memakai tubuh Renjun.
"Renjun, aku kira kita tak akan bertemu lagi." Wanita itu memang selalu baik padanya, hanya saja cara menolongnya yang tak tepat. Karena justru mendorongnya pada dunia gelap yang kini jadi bayangan mengerikan untuk Renjun sendiri.
"Kau akan berangkat kerja?" Tanya Lais ramah.
Renjun menjawabnya dengan anggukan. "Iya."
Setelah itu terdengar suara laki-laki yang bersama Lais bertanya padanya. "Renjun tak akan kembali ke tempat Lais?"
Membayangkan dirinya kembali ke tempat itu lalu menjalani setiap harinya sebagai pemuas napsu orang-orang asing, langsung membuatnya mual.
"Tidak." Jawab Renjun cepat. Bahkan setelah itu segera pamit pada wanita itu. "Kak Lais, maaf aku harus pergi."
Pertemuan itu benar-benar pertemuan yang singkat, tapi cukup membuat perasaan Renjun yang sejak kemarin memang tengah tak baik semakin kacau.
Selama di restoran ia terus merasa linglung, perasaan bergemuruh tak nyaman itu terus ia rasakan.
Di jam makan siang, ia melihat kedatangan nyonya Na. Seharusnya ia senang karena kemarin ia sudah merencanakan untuk berbicara dengan wanita itu, tapi bukannya senang perasaannya justru semakin tak terkendali begitu melihat nyonya Na menghampiri Winter dan berbicara akrab dengannya.
Itu bukan pemandangan yang pertama kali Renjun lihat, tapi sekarang ia merasakan kesedihannya semakin terasa karena tak lama setelahnya ia melihat kedatangan seorang wanita yang menyusul langkah nyonya Na. Itu mama Winter, terdengar dari bagaimana gadis itu memanggilnya juga dengan kemiripan yang mereka miliki.
Renjun membandingkan dirinya yang tadi bertemu orang-orang yang membuatnya teringat bagaimana buruknya masa lalu miliknya. Orang-orang yang tau bagaimana ia yang membiarkan tubuhnya diperlakukan semau mereka hanya demi uang.
Tapi kemudian Renjun menyadari bahwa kehidupannya dengan Winter juga Jaemin bukan untuk dibandingkan. Itu terlalu berbeda. Mereka seolah berada di dunia yang tak sama.
"Renjun, kau baik-baik saja? Sejak tadi kau terlihat lemas." Salah satu rekan kerjanya menegur Renjun yang menatap gelas minumnya dengan tatapan kosong.
"Maaf, apa aku boleh mengambil jam istirahatku lebih dulu?" Seharusnya ini waktu bagi rekannya itu untuk istirahat, sementara Renjun nanti setelahnya. Tapi dengan kondisinya saat ini, Renjun rasanya akan semakin tak fokus dengan pekerjaannya. Apalagi di salah satu meja ada nyonya Na dan mama Winter yang terlihat mengobrol, Renjun tak ingin nantinya ia mendengar sedikitnya pembicaraan tentang kehidupan cerah mereka. Sementara Renjun sekarang tengah berkutat dengan ingatan masa lalunya yang luar biasa gelap.
"Tentu." Rekan kerjanya itu menyetujui, ia bahkan menyarankannya untuk izin pulang lebih awal jika memang tengah sakit. Tapi Renjun menolak.
Kakinya ia bawa menuju ruang tempat ganti pakaian, di meja kecil yang ada disana sudah ada menu makan siang untuknya tapi Renjun tak menyentuhnya. Ia langsung meringkuk di sofa kecil yang ada disana, menetralkan perasaan sesak yang sejak pagi ia rasakan.
Ia jadi berharap agar tak akan pernah dipertemukan lagi dengan orang-orang yang berasal dari cerita gelapnya dulu, Renjun tak suka dengan perasaan ini. Perasaan sesak setelah bertemu mereka.