Jaemin sedikitnya khawatir meninggalkan Renjun dan Niall hanya berdua di rumah, dengan mamanya yang tak bisa datang. Yang Jaemin khawatirkan adalah, Renjun yang masih terlihat menciptakan jarak dengan Niall. Dan Niall yang terkadang cengeng jika ada keinginannya yang tak dikabulkan. Bagaimana jika ternyata anaknya itu ingin bersama Renjun, sementara Renjun masih menganggap bahwa kedekatannya dengan Niall membahayakan Niall—itu yang Renjun pikirkan. Jaemin pun tak habis pikir dengan pikiran Renjun yang seperti itu begitu submisif itu mengetahuinya.
Tapi Jaemin pun tak bisa memprotes pikiran Renjun, itu tak sepenuhnya bisa Renjun kendalikan. Jaemin tau bagaimana sulitnya Renjun melawan pikirannya sendiri, sejak dulu. Sejak mereka hanya sebatas teman, sejak mereka hanya sepasang kekasih, sejak mereka ingin memulai pernikahan, dan sejak mereka memiliki Niall. Jaemin tau seberapa banyak Renjun selalu berusaha menekan pikiran-pikiran yang mengacaukan suasana hatinya sendiri, tapi selalu kesulitan.
Jadi dengan memikirkan sekarang Renjun dan Niall di rumah, Jaemin khawatir. Saat ia menghubungi Renjun, submisif itu terdengar begitu lemas saat bersuara.
"Ada apa, Renjun?" Tanya Jaemin sembari melirik jam tangannya, berharap jam kerjanya segera habis agar ia bisa pulang.
📞 "Aku sudah mengatakannya, bahwa sebaiknya aku tak lagi terlalu dekat dengan Niall." Suara Renjun seperti orang yang sadar tak sadar bahwa ia tengah berbicara, pelan seolah cukup dirinya sendirinya saja yang tau.
"Renjun, kau sedang bersama Niall?" Jaemin ingin tau apa hal yang membuat Renjun kembali mengatakan kalimat itu.
📞 "Niall baru saja naik ke kamarnya."
Jaemin hendak bertanya lagi, namun kali ini Renjun lebih dulu memanggilnya.
📞 "Jaemin, aku kembali membuat Niall kecewa. Aku membuatnya sedih lagi, aku hanya memberinya semua perasaan buruk."
Mendengar itu Jaemin tanpa sadar berdiri dari posisi duduknya, mengantisipasi jika ada tangisan dari suara Renjun. Tapi tak ada.
"Renjun kalau yang kau maksud dengan membuatnya kecewa karena kuenya saat itu tak sengaja kau jatuhkan, itu bukan hal besar Renjun. Niall sudah melupakannya, Niall sudah mendapat ganti kue saat itu." Jaemin sempat membawa Niall keluar membeli kue, Jaemin juga mengajak Renjun ikut tapi submisif itu menggeleng tak mau.
📞 "Tapi itu hal besar untukku, ia bersedih Jaemin." Bisik Renjun, tapi Jaemin jelas masih bisa mendengarnya.
Jaemin ikut sedih, tadinya ia pikir Renjun sudah melupakan semua perasaan buruk yang mengganggunya dalam beberapa minggu ini. Tapi ternyata Renjun masih dalam pikiran yang sama.
"Renjun, tak ada yang bisa menghindari kesedihan. Bahkan Niall sekalipun."
📞 "Aku orangtua yang buruk untuk Niall, aku tak bisa menjaganya dan tak bisa membuatnya banyak tersenyum. Aku hanya terus merepotkanmu, aku tak pernah bisa membalas apapun padamu. Bahkan untuk membahagiakan kesayanganmu yang juga adalah anakku, aku tak bisa. Kenapa aku selalu seperti ini Jaemin?" Renjun mengerang kesal pada dirinya sendiri, ia kecewa atas semua kekurangan yang ia miliki.
"Aku pulang ya?"
📞 "Sekarangpun, aku hanya terus membuatmu kelelahan dua kali lipat. Kau bekerja, dan saat pulang harus menghadapiku, menemani Niall." Lirih Renjun penuh rasa bersalah. Ia mengabaikan ucapan Jaemin tadi.
"Tidak apa-apa." Jawab Jaemin lembut, meski memang ia pun agak kewalahan dengan semua kekhawatiran yang dimilikinya tapi Jaemin merasa tak apa.
Mencintai Renjun adalah pilihannya, kemauannnya. Dan mencintai Renjun tak hanya tentang semua bahagia submisif itu saja yang ingin Jaemin nikmati, tapi ia juga harus merasakan keadaan sebaliknya dari sebuah bahagia itu.