Jaemin menjatuhkan tubuhnya di atas kursi di ruangannya, tubuhnya bersandar pada sandaran kusi dengan lemas padahal hari ini ia tak mendapat begitu banyak pasien. Tapi rasanya seolah baru melakukan hal yang menguras tenaga. Semua itu berasal dari pikirannya yang banyak berputar di Renjun.
Pagi tadi ia kembali berusaha membujuk Renjun agar mau diantar lagi olehnya, agar Renjun mau melibatkan lagi dirinya dalam seluruh kehidupan submisif itu. Bukan seperti bagaimana Renjun bersikap padanya sekarang. Dimana semua hal selalu submisif itu usahakan agar tak ada dirinya di dalamnya, Renjun terus-terusan mengatakan bahwa ia tak ingin merepotkan dirinya. Padahal Jaemin memang ingin membantunya.
Tapi Jaemin juga tak bisa sepenuhnya menyalahkan Renjun atas itu, karena semuanya berawal dari diri Jaemin juga.
Bagaimana ucapan Jaemin yang langsung mengubah sikap Renjun dalam satu malam, bagaimana marahnya Jaemin lamgsung membuat Renjun membuat jarak antara mereka. Dan Jaemin bersumpah ia menyesali semua ucapan spontannya malam itu, ia begitu merutuki mulutnya yang justru mengeluarkan kalimat buruk yang didasari rasa khawatir.
Ia selalu membatin bagaimana kalau malam itu ia tak membentak dan mengucapkan kalimat berisi hinaan yang ada di dalamnya, mungkin Renjun masih menunjukkan senyum lebar untuknya.
Bagaimana kalau saat itu Jaemin justru memeluk Renjun sebagai lampiasan kekhawatirannya, mungkin kalimat cintanya sekarang tak akan hanya dianggap angin lalu oleh Renjun. Bisa saja Renjun pun akan meyambut ucapan cintanya, bisa juga Renjun akan memikirkan ungkapan sayangnya. Dan bukannya seperti sekarang, dimana Renjun selalu menganggap tak pernah mendengar kalimat cintanya.
Kalaupun Renjun tak memiliki perasaan serupa padanya, Jaemin pasti masih bisa mendapati sifat menyenangkan submisif itu. Bukan berarti ia muak dengan sosok Renjun yang sekarang, hanya saja Jaemin yang merasakan perubahan itu begitu menyayangkan semuanya.
Ia rindu Renjun yang gemar mengusilinya, ia rindu Renjun yang menemaninya membicarakan hal kecil, ia rindu Renjun yang mau duduk berdua dengannya tanpa canggung. Karena sekarang submisif itu jauh lebih kaku dari pada awal pertemuan mereka. Meski senyum itu selalu Jaemin dapat, tapi ia tetap merasakan perbedaan senyum saat ini dengan senyum sebelum Jaemin mengucapkan kalimat yang menyakitkan itu.
Jaemin sadar betul salahnya dimana, sadar apa salahnya. Tapi ia tak tau bagaimana cara meminta maaf agar kesalahannya dimaafkan.
Beberapa bulan berlalu sejak kalimat itu jadi penghancur hubungan akrab keduanya, jadi luka lain untuk diri Renjun juga jadi penyesalan bagi Jaemin.
Dan juga mengenai luka Renjun yang lain adalah kehilangannya sosok keluarganya satu-satunya, kakaknya yang begitu ia sayangi. Kakak Renjun yang telah meninggal. Renjun banyak bersedih atas itu, Jaemin tau betul itu. Tapi Renjun tak terlalu larut dalam semua sedihnya itu, seolah sadar bahwa hidupnya masih perlu berlanjut. Renjun kembali bersikap biasa saja— canggung padanya, tapi berusaha membantunya dan menjaga sifat ramahnya.
Namun Jaemin pernah menemukan Renjun menangis di kamarnya, persis seperti malam dimana ia menjemput Renjun untuk melihat jasad sang kakak terakhir kalinya. Submisif itu terduduk di lantai kamar, dengan wajah yang terbenam dalam lipatan tangan.
Hari itu padahal Jaemin seharian penuh bersama Renjun, karena kebetulan mereka memiliki waktu luang yang sama. Dan seharian itu Jaemin mengajak Renjun keluar untuk makan bersama, kemudian pergi jalan-jalan sebentar lalu pulang. Malamnya saat Jaemin hendak meminta Renjun menemaninya tidur, ia justru menemukan submisif itu menangis pilu.
Terhitung sudah empat kali Jaemin melihat tangisan itu dari Renjun, dan Jaemin benar berharap tak akan melihatnya lagi tangisan macam itu.
Pertama ia melihat tangis pedih Renjun di awal pertemuan mereka, dimana wajah Renjun berhias luka dan mengerang sakit pada tubuhnya. Yang tak lama kemudian Jaemin ketahui penyebabnya— salah satu orang yang memakai Renjun telah berlaku kasar.