Berbicara dengan dokter Lai sedikitnya membantu Jaemin, ia yang tadinya hanya berpikir untuk membiarkan Renjun nyaman dengan dunianya selama ia tak menangis sekarang Jaemin lebih takut lagi jika Renjun tak mau membagi apapun padanya. Ia ingin isi pikiran Renjun bisa ia ketahui. Terkadang ia akan mengintip jurnal Renjun, memastikan bahwa apa yang selama ini mengganggu Renjun tak sejauh itu.
Dulu Renjun pernah memiliki pikiran untuk menyerahkan hidupnya begitu saja, tak ada keinginan lebih untuk melanjutkan hidup. Bahkan Renjun mengabaikan segala kepentingan tubuhnya, menganggap bahwa dengan membiarkan kesehatannya memburuk akan membuat dunianya segera berakhir.
Tapi setelah Jaemin meminta Renjun untuk menjadikannya alasan untuk ia tetap disini, Renjun mau kembali memperhatikan tubuhnya. Dan sekarang Jaemin memiliki ketakutan jika pikiran Renjun kembali kesana, tapi setelah melihat beberapa isi jurnal submisif itu Jaemin hanya menemukan bahwa kesedihan Renjun adalah tentang jaraknya dengan Niall yang semakin terasa.
Renjun tak menginginkannya, tapi tanpa sadar ia sendiri yang membuat jarak itu.
Memang, interaksi antara mereka semakin tipis. Jaemin melihat Niall juga jadi terlihat jarang mengajak berbicara papinya lagi.
Niall yang merasakan setiap jawaban dari papinya begitu singkat pun jadi segan. Anak pemalu itu tak memiliki keberanian lebih untuk banyak bertanya pada papinya lagi. Membuat hubungan mereka benar-benar berubah canggung hanya dalam beberapa minggu.
Jaemin belum pernah berani lagi mengajak Renjun pergi menemui psikolog, ia bahkan tak pernah mengungkitnya lagi. Tapi Jaemin berusaha membuat perasaan Renjun membaik sebisanya.
"Kemarin kau menangis lagi?" Jaemin tak langsung bangun dari posisi berbaringnya begitu membuka mata, ia menarik tubuh Renjun lebih dulu dalam pelukannya.
Renjun kadang merasa semuanya tak adil untuk Jaemin, disaat dominan itu harus ikut tau kesulitannya. Padahal Jaemin tak seharusnya merasakan semua ujung kekacauan darinya. Pikiran Renjun jelas memintanya menahan semuanya sendirian tanpa mengatakannya pada Jaemin.
Tapi saat ia menolak diajak ke psikolog, Jaemin menawarkan hal mudah yang seharusnya tak Renjun tolak. "Kalau begitu bicarakan padaku tentang semuanya, ya?"
Jadi, Renjun pun menekan kemauannya untuk memendam kesedihannya sendiri dan mengatakannya pada Jaemin.
"Niall bermain dengan Viona dan kucingnya, ia terlihat senang dan aku ikut senang melihatnya." Tak ada alasan untuk Renjun menangis, meski kerinduannya pada anaknya sendiri membuatnya sakit.
Jika dulu Renjun kerap berpura-pura baik-baik saja dalam senyumannya pada Jaemin, padahal hatinya sedih. Semakin kemari Renjun lebih banyak terbuka lagi pada Jaemin, tengang perasaannya dan Jaemin bersyukur karena tak melihat banyak senyum penuh kebohongan. Yang ia inginkan senyum nyata milik Renjun, bukan senyum penutup luka yang ingin disembunyikan darinya. Meski harus diawali dengan pertanyaan darinya, tapi tak apa yang penting Jaemin tau apa saja yang ada dalam benak Renjun.
Karena Jaemin ingin membantu menyembuhkan luka Renjun, jika submisif itu menyembunyikannya bagaimana Jaemin menemukan obatnya. Dan karena Renjun percaya padanya, mau berbicara dan membagi sedihnya pada Jaemin. Jaemin pun tak terlalu banyak mengalami kesulitan untuk menemukan sedikit demi sedikit alasan untuk mengembalikan senyum Renjun.
Niall. Alasan sedih Renjun adalah pikiran bahwa ia tak sempurna untuk jadi orangtua Niall, tapi alasan Renjun untuk tersenyum juga ada pada anak itu.
"Hari ini aku di rumah, aku memiliki beberapa rencana untuk kita seharian ini." Ujar Jaemin, Renjun mengangguk.
"Kau mau bermain dengan Niall?" Pertanyaan Jaemin ini membuat Renjun mendongak.
"Mau!" Jelas Renjun menginginkannya, selalu menginginkannya. Tapi ia selalu kesulitan dan semakin kesulitan dalam memulai dan berinteraksi dengan putranya sekarang ini.