Pernikahannya dan Jaemin digelar tak terlalu besar, karena Renjun tak memiliki teman yang bisa diundang. Maka yang datang hanya teman-teman Jaemin dan keluarganya, ada juga beberapa teman orangtua Jaemin disana.
Itu juga sekaligus pertemuan resmi Renjun dengan keluarga Jaemin, tak banyak keluarganya karena mama Na hanya memiliki tiga saudara sementara papa Na anak tunggal.
Renjun bertemu seorang gadis cantik yang merupakan sepupu Jaemin, ia bernama Viona. Gadis itu baru lulus sekolah dan akan mendaftar kuliah, ia memiliki begitu banyak kemiripan dengan Jaemin. Dari bagaimana ia yang tak segan mengajaknya berbicara, membuat Renjun mudah juga akrab dengannya.
"Kalian akan segera memiliki bayi?" Wajahnya menunjukkan keantusiasan, matanya langsung menatap perut Renjun yang terhalang pakaian santainya.
Mereka kini berada di rumah mama Jaemin setelah pesta pernikahan selesai, semua orang sudah berganti pakaian dan tengah berkumpul, berbincang satu sama lain.
"Maaf kesan pertamaku mungkin buruk." Renjun meringis meminta maaf, ia sadar tentang kabar yang ia bagi pada Viona agaknya tak wajar untuk disampaikan pengantin yang baru menikah hari ini.
Viona menggeleng ribut. "Tidak." Pandangannya mulai menerawang, berpikir. "Mungkin sekarang aku harus mulai memikirkan sebuah kado untuk bayimu nanti."
"Tidak perlu, Viona. Jaemin sudah memesan banyak barang dari beberapa kenalannya, kau tak perlu memberiku apapun." Renjun akan merasa semakin malu pada kebaikan keluarga Jaemin jika sampai Viona yang masih remaja saja berpikir untuk memberikan hadiah untuk bayinya.
Mengenai ucapannya tentang Jaemin yang sudah memesan barang, Renjun tak bohong. Ia tau bagaimana Jaemin yang sering memperlihatkan beberapa gambar padanya untuk bertanya pendapatnya, dan tau-tau dominan itu mengatakan bahwa ia sudah memesannya. Hanya saja akan dikirim nanti begitu menjelang kelahiran bayinya.
Jaemin benar-benar terlihat begitu menjaganya, menantikan bayi mereka. Semua afeksi yang Renjun terima sejak mengenal Jaemin, rasanya bertambah besar setiap harinya. Kekhawatirannya tak berlebihan atas kehamilan Renjun yang masih muda, karena Jaemin percaya sepenuhnya pada mamanya.
Iya, setelah mereka menikah pun Jaemin memutuskan untuk tetap tinggal bersama mamanya untuk memperhatikan Renjun disaat dirinya harus pergi. Apalagi ia juga melihat bagaimana Renjun yang semakin dekat dengan mamanya, dengan papanya pun tak secanggung itu. Membuat Jaemin selalu merasa tenang untuk meninggalkan Renjun.
Tapi pada satu hari Renjun tiba-tiba menelponnya sambil terisak kecil, Jaemin jelas panik apalahi begitu mendengar suara tertahan Renjun diantara isakannya. Seolah ia menahan semuanya.
📞 "Aku takut Jaemin..."
"Ada apa Renjun? Dimana mama?" Jaemin langsung bangkit dari kursinya, pasiennya yang baru saja hendak keluar dari ruangannya ikut tersentak atas gerakan tiba-tiba dokter itu.
Pertanyaan Jaemin tak dijawab, hanya terdengar erangan bercampur tangis pelan Renjun.
_____
Renjun sejak tadi duduk di kursi yang menghadap keluar kamar, dan saat ia hendak meraih jurnalnya ia merasakan nyeri pada panggulnya. Sakit yang membuat ketakutan itu kembali membayanginya, air matanya mengalir seiring ketakutannya yang semakin membuatnya gemetar.
Ia selalu mendengar apa yang Jaemin katakan sebelum pergi bahwa ponselnya harus tetap berada di dekatnya, juga untuk segera menghubungi dominan itu jika dirinya menginginkan sesuatu atau terjadi apapun padanya.
Letak ponselnya ada di atas meja, meski jaraknya begitu dekat. Tapi dengan rasa sakit yang ia miliki, Renjun kesulitan mencapai itu. Begitu berhasil memegang ponselnya, Renjun cepat-cepat menghubungi suaminya dan hal pertama yang ia adukan pada Jaemin adalah tentang ketakutannya.