28. Orang Tersayang

3 1 0
                                    

"Sampai kapan gue mau menghindar dari Thea? Gue pengecut, nggak seharusnya gue pergi gitu aja tanpa pamit."

Bian mengacak-acak rambutnya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Bian mungkin kesal dengan dirinya sendiri yang tidak bisa tegas sebagai seorang Ketua RIVERA. Juga sebagai teman yang seharusnya tidak saling menyakiti.

Bian takut bertemu dengan Lala. Bian takut melihat sorot mata Lala yang kecewa. Bian tahu kalau ia hanyalah laki-laki brengsek yang tidak bisa menjaga Lala dan malah menghancurkan hatinya.

Batin Bian berkecamuk. "Kak Zean, maaf gue menyakiti adek lo."

Ditengah kegundahan hatinya, nada dering di ponsel Bian terdengar. Ia buru-buru menjauh dari pintu ruangan Jay, lalu melirik ke sekitar untuk waspada.

"Halo?" Ucapnya setelah memastikan kondisi sekitarnya aman.

"Bian, aku kangen banget sama kamu. Kamu bisa ke rumah? Sekalian deh bawain makanan, aku laper. Kak Gerald belum pulang."

Suara manja yang dibuat-buat itu terdengar memenuhi telinga Bian. Raina menelponnya, gadis itu masih bisa bersikap biasa-biasa saja setelah membuat hubungan Bian dengan Lala hancur. Bahkan mungkin hubungannya dengan para anggota RIVERA juga turut hancur.

Bian menggaruk keningnya yang tak gatal, kemudian menjawab permintaan Raina. "Aku lagi di luar kota, ada urusan sama keluarga."

Bian berani berbohong, ia perlahan melepaskan diri dari jeratan Raina dan Gerald yang mengikatnya.

Raina berdecak kesal. "Masa sih? Kata Kak Gerald, hubungi kamu aja kalo aku butuh apa-apa. Nggak mungkin kan, Kak Gerald bilang gitu kalo kamu lagi nggak disini."

"Kamu...bohong ya?"

"Nggak, aku nggak bohong. Aku memang ke rumah nenek aku. Dan udah dulu ya, keluarga besar aku mau kumpul." Ucap Bian yang akhirnya menutup sambungan telepon dengan terpaksa.

Apa Bian sudah merasakan akibat dari keputusan yang ia buat? Apa ini yang dinamakan karma?

Bian jadi rindu masa-masa RIVERA masih damai dan tidak terpecah belah seperti ini. Andai saja Bian tidak membuat keputusan bodoh, maka kebahagiaan RIVERA tidak akan lenyap begitu saja. Dan Lala tidak mungkin menjauh darinya.

Sementara itu, di ruang rawat Jay, Jay tengah bercerita dengan kondisi yang memprihatinkan. Dengan bibirnya yang masih terlihat bekas jahitan, Jay berceloteh.

"Malam itu gue habis dari markas RIVERA, ambil ponsel gue yang ketinggalan. Belum larut banget sih, tapi anak-anak RIVERA udah pada pulang. Tiba-tiba aja pas gue keluar markas, gue diseret dan dihajar habis-habisan sama Gerald dan anak buahnya." Kata Jay serius.

Lala yang mendengarkan ingin sekali menitikkan air mata. Seharusnya ia saja yang berada di posisi Jay sekarang. Jay tidak seharusnya merasakan sakit seperti ini.

Jay lalu melanjutkan lagi. "Gue nggak tahu gue ada salah apa ke mereka. Mereka langsung bubar gitu aja begitu Andra dateng sambil bawa petasan yang entah darimana dapatnya."

Berat rasanya mendengar pengakuan dari bibir Jay, bukan karena Lala tidak percaya akan penuturan temannya itu, Lala hanya tidak percaya bahwa Gerald adalah manusia. Gerald sudah seperti sampah yang memperlakukan orang lain seenak jidat. Lala yakin jika apa yang terjadi padanya dan Jay merupakan bagian dari rencana Gerald.

"I'm sorry. Ini semua nggak seharusnya terjadi ke lo, Jay." Tangis Lala pecah saat itu juga. Air mata yang sudah lama ia bendung kini menetes dan mengalir membasahi pipinya.

Jay terkejut Lala tiba-tiba menangis. Yang sakit kan Jay bukan Lala, kenapa gadis itu malah menangis?

"Hey, no problem. Jangan nangis lagi dong, The." Bujuk Jay dengan wajah memelas.

Dibujuk begitu pun Lala tidak kunjung menghentikan tangisnya. Gadis itu malah terus menangis sesenggukan. Lala tidak hanya menangisi Jay yang malang. Lala menangisi seluruh hal yang terjadi kepadanya akhir-akhir ini.

Lala lelah dengan semuanya, Lala tidak tahu bagaimana caranya agar semua masalah hidupnya selesai dan hilang begitu saja. Di hadapan anak-anak RIVERA yang selama ini dekat dengannya, Lala tidak bisa bersikap baik-baik saja. Ada suara yang ingin didengar, ada kerapuhan hati yang perlu di kuatkan, dan ada raga yang ingin didekap dalam kehangatan.

Jay perlahan memahami tangisan Lala. Ia membiarkan Lala menangis sejadi-jadinya sampai gadis itu lega. Jay ingin sekali merengkuh daksa yang terlihat butuh dikuatkan itu. Namun Jay sendiri susah menggerakkan tubuhnya, ia hanya bisa menggerakkan tangannya untuk mengusap-usap kepala Lala dengan tulus.

"I will always be here for you, Thea."

Jay tahu konsekuensi bergabung dengan genk motor. Ini bukan salah Lala, bukan juga salah anak-anak RIVERA, Lala tak harus menangisi musibah yang menimpanya. Tapi mungkin ini perihal lain, Jay bisa menduga bahwa Lala bukan tengah menangisinya, namun menangisi sesuatu yang ia tutupi selama ini. Yang akhirnya pecah saat ini juga.

***

"Sora udah makan belum? Ini Kak Nathan bawain makanan buat Sora. Dimakan ya." Bisik Nathan seraya membelai rambut adiknya dengan penuh kasih sayang.

Nathan melirik ranjang tenpat Mamahnya terbaring, Mamahnya tengah tertidur rupanya. Nathan tidak ingin membangunkan wanita itu. Ia akan membiarkan Mamahnya beristirahat dan mendapat ketenangan sebentar.

Gadis yang masih menggunakan seragam SMP itu menggeleng pelan sebagai respon, lalu menarik Kakaknya untuk duduk di sofa, ia sengaja menjauh karena takut Mamahnya terbangun karena suara mereka.

"Kak Nathan nggak usah repot-repot. Kakak sendiri belum makan kan?" Tanya gadis itu, tepat sasaran.

"Kakak udah makan tadi sebelum kesini. Kamu yang belum makan karena pulang sekolah langsung kesini. Kamu makan aja ya." Tolak Nathan dengan halus.

Nathan sudah tidak nafsu makan. Di dalam hatinya Nathan hanya berharap bisa makan bersama kembali dengan sang Mamah di rumah, di ruang makan keluarganya, bukan di Rumah Sakit.

Sora akhirnya menyetujui, ia menerima plastik berisi bungkusan makanan yang Nathan bawa.

"Makasih Kak Nathan. Aku harap, Kak Nathan selalu diberi kebahagiaan, perlindungan dan ketenangan dimanapun Kak Nathan berada, soalnya Kakak baik." Celetuk sang adik.

Nathan terkekeh pelan, adiknya terlalu mendramatisir suasana. Nathan hanya melakukan hal yang seharusnya ia lakukan sebagai seorang Kakak, tidak lebih.

"Kak Nathan juga berharap, Sora selalu sehat dan bahagia. Juga berprestasi di manapun Sora berada!" Timpal Nathan mengikuti perkataan Sora yang membuat keduanya kompak tertawa.

Ditengah canda tawa kakak beradik itu, pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Seorang laki-laki berjaket hitam menyelonong masuk ke dalam ruangan, menghampiri Nathan dengan tergesa-gesa lantas membisikkan sesuatu kepada Nathan. "Sembunyi untuk beberapa hari ini. Black Stars tahu siapa yang berani serang mereka tanpa diundang malam itu."


—Meyytiara, 3 Maret 2024, 20.28

PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang