11. Masalah Bian

9 5 0
                                    

"Bian, lo ingat kan sama janji lo minggu lalu?" Tanya seorang laki-laki dengan jaket kulit warna hitam yang menutupi tubuhnya.

Laki-laki itu kembali mengingatkan, "Kalau lo lupa, minggu lalu lo pernah janji bahwa lo bakal jadi pacar adek gue."

Bian mengepalkan tangan kanannya dengan kuat, ingin sekali ia layangkan tinjunya kepada laki-laki di hadapannya ini.

"Tapi pas balapan, lo main curang kan? Lo sabotase motor gue sampai akhirnya gue kalah."

Laki-laki itu justru terkekeh dan tak merasa bersalah sedikit pun, "Haha, tapi janji gak bisa diingkari, Bian."

Bian tak tahu janjinya hari itu akan mendatangkan masalah besar baginya. Seharusnya, waktu itu ia tolak saja ajakan balap motor yang membuatnya harus berjanji jika kalah ia akan menjadi pacar dari adik sang ketua geng motor yang menjadi lawannya.

Kalau saja seorang perempuan yang sedang menjadi topik pembicaraan ini adalah seseorang yang tidak Bian kenal, mungkin ia akan mau-mau saja untuk menjadi kekasihnya. Namun, perempuan itu adalah orang yang sahabatnya benci. Bian tak mungkin mau menjalin hubungan dengannya, yang tentu nantinya akan menyakiti hati Lala.

Merasa tak ada alasan lain untuk menjadi bahan pembicaraan, laki-laki yang tadi mengobrol dengan Bian pun menepuk pundak Ketua RIVERA itu, "Ini permintaan adek gue. Jangan sampai lo bikin dia kecewa."

Setelahnya, daksanya perlahan menjauh dari Bian yang diam seribu bahasa.

Bian, kenapa lo bego banget sih?!

🌈🌈🌈

Tepat keesokan harinya, Bian benar-benar menjadi kekasih dari perempuan bernama Raina. Bian menepati janjinya itu dengan setengah hati.

Bahkan anggota-anggota RIVERA pun tidak tahu tentang hubungan mereka berdua. Sengaja Bian merahasiakannya agar mereka tidak kecewa dengan keputusan bodoh yang ia ambil.

Namun, ada seseorang yang memperhatikan tingkah laku Bian yang berubah akhir-akhir ini. Ia merasa, Bian di sekolah maupun di markas lebih sering melamun dan menolak untuk berkumpul dengan para anggota RIVERA.

"Mas Bian kenapa mojok sendirian nih?" Tanya Andra, ia mendekat ke samping Bian yang tengah duduk di pojok markas.

Bian sedikit tersentak dengan kehadiran Andra yang tiba-tiba saja datang. Atau karena Bian yang tidak fokus jadi ia tak menyadari hadirnya Andra.

Bian tak menjawab pertanyaan Andra dan menjatuhkan batang rokoknya yang sudah setengah terbakar. Kemudian ia menginjaknya dengan sepatu kets warna hitam putih yang ia kenakan.

"Ada masalah?" Tanya Andra lagi.

Bian menggeleng, "Nggak ada. Lo santai aja, gue cuma lagi mikir kompor di rumah udah dimatiin apa belum, haha."

Andra tak tertawa dengan lelucon yang Bian buat. Sudah sangat jelas bahwa Bian tengah berbohong dan menutupi sesuatu. Begini-begini juga, Andra sudah berteman dengan Bian sejak mereka duduk di sekolah dasar. Andra tentu hafal tabiat Bian saat ia memiliki masalah.

"Masalah sama Thea ya?" Tebak Andra.

Bian memalingkan wajahnya ke arah lain, enggan menatap Andra yang seperti tengah menginterogasi.

"Kalo ada masalah, cerita sama kita biar kita hadapi masalah itu bareng-bareng. Lo masih punya kita, Bian. Jangan pendam semuanya sendirian sampai masalah itu bikin lo terganggu." Jelas Andra panjang lebar.

"Tapi bener lo ada masalah apa sama Thea?"

Bian menunduk dan tak menjawab apapun, lagi-lagi ia terdiam. Mulutnya terlalu kelu untuk sekedar mengucapkan jawaban.

"Bian, Thea yang kita kenal itu memang keras kepala. Tapi kalo lo jujur sama dia, pasti Thea bisa paham."

Bian mengulas senyum, ia menepuk bahu Andra kemudian beranjak dari duduknya.

"Makasih sarannya. Gue pamit dulu."

Lantas Bian menghampiri Meissa dan Jay yang tengah duduk sambil bermain catur. Bian berpamitan kepada mereka berdua sebelum akhirnya laki-laki bertubuh tinggi itu menaiki motornya lalu melesat ke jalanan dan bergabung dengan pengendara lainnya.

Tanpa Bian sadari, Andra menatap kepergiannya dengan pandangan yang susah diartikan.

Bagaimana Andra bisa tahu kalau Bian sedang memiliki masalah dengan Lala bukan karena Andra ini peramal. Tetapi Andra sadar bahwa sekarang foto yang Bian pasang di layar kunci di ponsel Bian bukan lagi foto Lala, melainkan foto perempuan lain.

"Jangan bohongi perasaan lo, Bian." Gumam Andra dengan pelan.

🌈🌈🌈

Lala pulang ke rumah setelah ia diantar oleh Iqbal. Besok ia sudah harus bersekolah, tidak mungkin ia masih di rumah Iqbal sedangkan dirinya harus kembali belajar dan belajar, bukan hanya bermain-main.

"Gue antar sampai pintu kamar lo dah. Gue khawatir aja lo dikurung lagi di gudang." Ucap Iqbal setelah melepas helm yang Lala kenakan.

Lala menggeleng, "Gue gak mau lo jadi sasaran tamparan bokap gue. Pulang aja gih."

"Bodo amat, La. Gue temenin lo sampai lo aman." Tutur Iqbal masih dengan pendiriannya.

Mungkin sifat keras kepala sudah turun temurun di keluarga mereka. Lala dan Iqbal sama saja keras kepala, hingga akhirnya Lala pasrah dan mengizinkan Iqbal untuk masuk ke dalam rumahnya. Namun dengan syarat ia tidak boleh emosi ataupun melayangkan kata-kata yang membuat Ayah Lala marah.

"Masih tahu rumah ternyata." Sindir Ayah Lala saat Lala dan Iqbal masuk ke dalam rumah.

Lala mendekat ke Ayahnya dan berniat untuk menyalami pria itu, tetapi Ayahnya itu malah menepis tangan Lala seolah-olah tangan Lala sangatlah kotor.

Lala memakluminya dan berpamitan untuk menuju ke kamarnya, "Aku mau ke kamar dulu, permisi."

Iqbal memandangi kepergian Lala dengan serius sampai gadis itu masuk ke dalam kamarnya. Iqbal hanya takut tiba-tiba Arsha menyerang Lala dengan benda tajam atau apa.

Katakanlah Iqbal terlalu lebay, akan tetapi orang tua dari sepupunya ini memang seperti tokoh-tokoh di film Thriller yang menyeramkan.

"Kenapa belum pulang? Siapa yang menyuruh kamu masih di rumah saya?" Tanya Arsha yang lebih pantas dikatakan 'mengusir'.

Iqbal berdecih, "Sok iye banget aki-aki."

Arsha menghempaskan koran yang sedang ia baca, emosinya kembali naik.

"Apa? Gak sopan banget ya kamu." Balas Arsha tajam.

Iqbal memilih untuk tak peduli dan berjalan pelan ke halaman rumah. Ia tak ingin berlama-lama di rumah menyeramkan ini dan menghadapi Arsha yang menurutnya menyebalkan.

Iqbal mengendarai motornya tanpa berpamitan apapun kepada sang pemilik rumah. Motornya melaju dengan kecepatan tinggi hingga menjauh dari rumah Lala dengan cepat.

Dalam perjalanan, Iqbal berpapasan dengan Bian yang menyalip motornya. Motor itu melaju dengan kecepatan yang lebih tinggi dari Iqbal sampai-sampai Iqbal kehilangan jejaknya.

"Gila ya tu anak, mau mati apa gimana? Bawa motor kayak lagi balapan."

"Ah, apa beneran mau mati ye?"

-Meyytiara, 23 September, 21.12

PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang