04. Nilai

14 5 0
                                    

Satu minggu lagi ujian akhir semester akan dimulai. Saat-saat inilah dimana Lala merasa gelisah. Setiap harinya Lala memang tidak pernah merasa menikmati hidupnya, namun ketika minggu-minggu ujian, hidup Lala semakin bertambah menakutkan.

Ayahnya tentu akan mengawasinya lebih ketat. Pria paruh baya itu tidak mungkin membiarkan Lala bermain-main dengan momen ujian ini.

Seperti yang sedang terjadi sekarang, sejak ia selesai mandi sepulang sekolah, Lala berkutat dengan buku dan laptop yang berisi latihan-latihan soal Matematika yang harus ia kerjakan. Bak seekor hamster yang harus berlari di roda yang terus berputar, Lala juga harus terus-terusan belajar sampai semua latihan soal itu telah terjawab.

Tak cukup sampai disitu, jawaban soal-soal itu harus benar dan tidak boleh ada yang salah. Jika ada yang salah satu nomor saja, itu berarti Lala harus mengulang latihan soal lain dengan jawaban-jawaban yang berbeda namun dengan cara penyelesaian yang sama.

"Pusing." Lirih Lala.

Ia hanya makan sebungkus roti kecil yang Jazzey berikan tadi saat berkumpul di markas RIVERA, Lala membawanya pulang untuk jaga-jaga ketika ia lapar. Bahkan Lala tak tahu sudah berapa lama ia duduk di kursi belajarnya. Kepalanya mulai pusing dan darah terus-terusan mengalir dari hidungnya walau Lala sudah menahannya dengan tisu.

"Lala."

Samar-samar Lala mendengar suara seseorang yang memanggil namanya, perempuan itu tahu bahwa sang pemilik suara itu adalah seseorang yang Lala kenal, dia adalah Nathan. Lala mengernyit kebingungan, ada urusan apa Nathan ke rumahnya? Bisa gawat juga kalau orang tuanya tahu.

Lala menatap keluar jendela kamarnya yang terbuka, dilihatnya Nathan yang sedang membawa sebuah plastik putih.

Tiba-tiba saja, Nathan melempar plastik itu ke kamar Lala, untungnya refleks Lala bagus, ia dengan cepat menangkap plastik berukuran sedang itu.

Lalu Nathan yang mengenakan hoodie biru tua itu langsung berlari meninggalkan pelataran rumah Lala. Langkahnya sangat cepat sampai Lala tidak sempat mengucapkan sepatah kata pun untuk Nathan.

"Apa nih?" Lala yang penasaran pun membuka plastik putih yang diberikan Nathan.

Benda pertama yang Lala temukan adalah secarik sticky note berisi tulisan tangan rapi khas seorang Nathan.

Lala, semangat belajarnya! Jangan kelelahan ya. Lo boleh ambis tapi jangan lupa istirahat! Dan semoga apa yang gue berikan bermanfaat buat lo. Good night Pelangi Nabastala!

Lala menerbitkan sebuah senyuman kecil, rasa lelahnya perlahan memudar. Nathan begitu perhatian kepadanya.

Padahal ponsel Lala sudah dimatikan sejak ia mulai belajar. Tak ada alat komunikasi apapun yang dapat Lala gunakan untuk menghubungi Nathan karena laptopnya pun diatur agar tidak bisa digunakan untuk bermain media sosial saat belajar. Akan tetapi, Nathan selalu tahu cara agar ia bisa menyemangati Lala.

"Thanks." Gumam Lala yang ditujukan untuk Nathan.

Lala akhirnya memakan kue bolu yang ada di dalam plastik yang Nathan berikan. Ia memakannya dengan cepat sambil meminum susu kotak rasa vanilla yang juga Nathan berikan.

Lala bersyukur karena ia masih memiliki seorang Nathan. Walau keduanya hanya sebatas teman dan pernah menjadi rekan di organisasi yang sama, tetapi Lala sangat berterima kasih kepada Tuhan karena telah menghadirkan sosok Nathan di hidupnya.

Nathan adalah sosok laki-laki yang pengertian dan merupakan seorang pemimpin yang tidak semena-mena. Hal itu membuat Lala kagum terhadap Nathan.

Hanya kagum, tidak lebih.

***

Lala menghentikan motornya saat motor sport itu telah sampai di tempat parkir SMA Langit Biru. Tempat parkir itu masih terbilang sepi karena Lala memang datang ke sekolah pagi-pagi sekali. Ia sengaja datang pagi bukan karena ada tugas jaga atau karena belum mengerjakan PR, melainkan karena ia ingin pergi ke perpustakaan dan meminjam buku paket disana. Lala harus selangkah—ah, atau mungkin Lala harus seratus langkah lebih awal daripada murid lainnya. Katanya, siapa cepat dia dapat, dan Lala harus menjadi orang yang cepat itu.

Lala membuka helm hitam miliknya. Rambutnya yang hitam dan panjang itu berterbangan karena ia tidak mengikatnya. Semilir angin pagi menyapa Lala, sedikit menyejukkan pikiran Lala. Juga membuatnya merasa segar selepas begadang mengerjakan soal matematika tadi malam.

Gadis itu kemudian turun dari motornya setelah mencabut kunci motor dan melangkahkan kaki meninggalkan tempat parkir.

Saat ia melewati kelas X-3, ia mendengar suara tiga anak laki-laki yang sedang berbincang ria, walaupun mata dan tangan mereka fokus dengan game online yang tengah mereka mainkan. Lala kebetulan mengenalnya, mereka itu anak-anak nakal yang pernah mendapat hukuman karena terlambat masuk ke sekolah.

"Weh, bentar lagi ujian. Takut banget gue." Ujar Zio, salah satu dari ketiga anak laki-laki itu.

"Gue sih santai. Pilih jawaban berdasarkan firasat aja." Sahut Vino disertai dengan kekehan pelan.

Raka ikut menimpali. "Iya tuh, lagian nilai gak penting."

Lala mengepalkan tangannya dengan kuat. Ia ingin sekali menghajar mulut Raka yang seenaknya bilang bahwa nilai itu tidak penting.

"Kalo nilai itu gak penting, kakak gue gak bakal meninggal karena nilai."

Lala bergumam dengan sangat pelan, mungkin tidak ada yang bisa mendengarnya selain dirinya sendiri.

Untuk saat ini, Lala tidak ingin mencari keributan yang bisa membuatnya masuk ke dalam ruangan BK. Walau ia tidak setuju dengan perkataan yang Raka lontarkan, ia harus memendam rasa emosi itu. Sebentar lagi ulangan akan dimulai, akan sangat merugikan jika ia membuat masalah di sekolah.

Lala mempercepat langkahnya agar cepat sampai ke perpustakaan, ia tak ingin mendengar lebih lanjut perbincangan yang terjadi diantara ketiga adik kelasnya itu.

Sekarang ia harus fokus dengan ujian tengah semester yang akan ia hadapi. Tidak peduli dengan murid lain yang masih asyik bersantai-santai dengan cara bermain game online, berpacaran atau melakukan hal apapun yang membuat mereka lalai dengan ujian yang akan segera dilaksanakan.

Karena mereka dan Lala berbeda, Lala tidak bisa bersantai-santai seperti mereka. Bagi Lala, nilai itu segalanya, nilai itu seperti nyawanya. Sangat berharga di keluarganya dan ia tidak boleh mengabaikannya.

PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang