30. I'm Sorry

6 1 0
                                    

"Lala, kalau seandainya suatu saat nanti Kak Zean pergi, Lala harus bisa jaga diri sendiri ya. Jangan nyusul Kak Zean, Kakak tahu kalau Lala pasti bisa jaga diri dan Kak Zean mau Lala akan selalu bahagia dengan pilihan Lala."

Gadis kecil dengan bando berwarna merah muda dan poni pendek yang menutupi dahinya itu memandang Kakaknya dengan heran. Kakaknya sedang berbicara apa sih? Memangnya Kak Zean mau pergi kemana?

Karena penasaran, gadis kecil itu bertanya. "Apa sih maksudnya Kak? Kak Zean pergi kemana?"

Bukannya menjawab, anak laki-laki bernama Zean itu berdiri. Ia mengulurkan tangannya untuk diraih oleh tangan mungil adiknya.

"Pergi ke tempat dimana Kak Zean nggak terkekang lagi." Zean menyempatkan menjawab. "Ayo berdiri."

Lala meraih tangan kanan kakaknya yang ia gunakan agar bisa berdiri dengan mudah. Setelah mereka sama-sama berdiri, Zean mengulas senyum manis di wajahnya. Herannya, Lala tidak turut tersenyum melihatnya. Setetes air mata jatuh mengenai pipinya, sesak menjalari dadanya. Ketika Lala kecil tersadar bahwa di hadapannya sekarang adalah sosok Kakaknya, Lala langsung memeluknya dengan erat disertai tangis yang makin menjadi.

"Kak Zean jangan pergi kemanapun! Jangan tinggalin Lala."

Sayangnya, sosok yang dipeluknya itu hilang bersamaan dengan teriakan Lala yang keras. Suara alarm tanda pagi telah tiba berbunyi, memutus mimpi yang seharusnya muncul lebih lama dengan segala rindu yang menyesakkan.

Lala terbangun dengan bulir-bulir keringat yang membasahi wajahnya, nafasnya terdengar tak beraturan. Lala memencet tombol lampu kamarnya hingga cahaya lampu tidur menerpa wajahnya.

Kedua netra Lala menilik kalender yang terpasang di dinding kamarnya. Lala tak berkedip sedetik pun kala menyadari ada sesuatu di tanggal hari ini, sebuah tanggal yang ia lingkari dengan spidol berwarna merah.

"Hari ini hari ulang tahun Kak Zean." Ucap Lala pelan sekali.

Lala mengusap wajahnya gusar. Mungkin ia terlalu sibuk memikirkan huru-hara yang terjadi belakangan ini, sampai-sampai ia tak ingat dengan hari ulang tahun Kakaknya. Kehadiran Zean dalam mimpinya mungkin adalah suatu pertanda bahwa Lala harus mengunjungi Zean hari ini.

Sudah beberapa kali Lala mengunjungi Kakaknya dalam kurun waktu satu minggu, tetap saja hal itu tidak bisa membuat rindunya berkurang, justru semakin bertambah, bahkan setiap detik yang berjalan Lala akan bertambah merindukannya.

Seandainya saja Zean masih ada di sisinya, Lala tidak akan menghadapi semuanya sendiri. Zean akan selalu berada di pihaknya sekalipun itu membahayakan dirinya sendiri. Zean menyayangi Lala lebih dari ia menyayangi dirinya sendiri.

Kalau hari itu Lala tidak melakukan kesalahan, apakah Zean masih tersenyum sampai hari ini?

***

"Jazzey, susah berapa kali Papah bilang? Papah nggak suka kamu bergaul sama genk motor gak jelas itu!" Bentak seorang pria yang sedang naik pitam.

"Are you stupid?" Lanjutnya sambil menekan dahi Jay dengan jari telunjuknya. Ekspresi wajahnya masih tak santai, pria itu terlihat sangat marah pada Jay.

Jay ingin menjawab tetapi suaranya seperti hilang begitu saja, apalagi ditambah dengan kondisinya yang belum pulih total, Jay semakin terlihat lemah bahkan hanya untuk sekedar berbicara.

"Papah sekolahkan kamu buat jadi pintar. Bukan jadi berandalan."

Papahnya sekarang terlihat seperti orang kesetanan. Membentak dan meneriaki orang yang sedang terbaring tak berdaya di ranjang pasien.

Baru kemarin Jay bisa membuka matanya kembali dan sadar dari tidur panjang yang melelahkan. Alih-alih diberi perhatian, Jay malah mendapatkan kecaman dari sang Papah.

Sejak dulu Papahnya itu memang tidak suka Jay bergabung dengan RIVERA. Jay dilindungi neneknya saat Papahnya marah besar, mengetahui anak tunggalnya itu bergabung dengan genk motor yang sudah pasti dipandang buruk oleh orang sekitar.

Apalagi sekarang neneknya sudah pergi, tidak ada lagi tempat yang aman untuk Jay berlindung. Kedua orang tuanya sudah bercerai sejak ia berusia 5 tahun, Jay tinggal dan dirawat oleh Papahnya selama ini, ah lebih tepatnya dirawat oleh babysitter yang dibayar Papahnya.

Papahnya pun tak pernah mendengarkan alasan Jay untuk masuk RIVERA. Bagi pria tua itu, mau RIVERA atau apa, tetap saja menjadi bagiab dari genk motor bukanlah jalan yang tepat.

"Kamu keluar dari genk mu itu, atau kamu pergi dari rumah Papah!" Ancam Papahnya.

"Choose one!" Tekannya tanpa ampun.

Jay menelan salivanya dengan susah payah, laki-laki itu ingin menolak namun sayangnya suaranya lagi-lagi tak keluar. Papahnya pun tak mempunyai waktu untuk sekadar mendengarkan putranya merengek dan menolak tawarannya secara langsung.

Wajah Jay berubah panik, tangannya tergerak untuk menghentikan langkah Papahnya yang semakin menjauh darinya.

Pria itu mengabaikan gerakan Jay, lalu bisa Jay lihat ada dua pria mengenakan kemeja hitam yang menghampirinya. Jay tahu mereka itu pengawal pribadi Papahnya.

Jay tidak bisa mendengar apa isi pembicaraan mereka, pintu ruang rawat Jay tertutup setelah sang Papah dan kedua pengawalnya berbicara. Jay memiliki firasat tidak enak soal itu, semoga bukan apa-apa.

"Maaf gue nggak bisa jaga diri sampai terluka begini. I'm sorry RIVERA....and Thea."

—Rabu, 5 Juni 2024, 19.13

PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang