18. Negoisasi

357 49 14
                                    

"Saya tidak menyangka bertemu kamu lagi di ruangan ini." Hendrik tersenyum, saat melihat bahwa ternyata perwakilan dari massa yang berdemo adalah Chiko. Siswa beasiswa yang pernah dia beri SP 1 karena ketahuan menjadi joki tugas sekolah. "Saya kira siswa beasiswa seperti kamu akan menjadi siswa yang tunduk kepada sekolah, ternyata malah menjadi pemberontak."

Mendengar statusnya sebagai siswa beasiswa diungkit-ungkit, Chiko menjadi sedikit khawatir. Namun, dia membulatkan tekad untuk tetap berada dalam rencananya, yaitu bernegosiasi dengan sekolah agar tuntutan mereka dipenuhi. Agar misi yang Mr. Black berikan tuntas. Agar tabungan kuliahnya bertambah banyak. Dan yang terpenting, agar tercipta perubahan positif di SMA Gemilang.

Chiko menghela napas. Dia menatap Hendrik dengan sorot lebih berani.

"Sebelumnya maaf jika Bapak menganggap bahwa saya dan teman-teman saya adalah pemberontak. Namun, di sini kami hanya sedang menuntut keadilan. Kami ingin suara kami didengar. Kami ingin menuntut tanggapan sekolah mengenai petisi Himpunan yang tersebar. Karena yang menandatangani petisi ini sudah lebih dari setengah keseluruhan murid di SMA Gemilang. Sudah sepantasnya sekolah mulai bertindak."

Chiko menunjukkan bukti laman petisi yang menunjukkan jumlah penandatangan yang telah melampaui setengah dari populasi siswa di SMA Gemilang.

"Lebih dari setengah siswa dan siswi SMA Gemilang telah menyatukan suara agar sistem senioritas dihapus, dan pelaku kekerasan sekolah diberi sanksi yang jera, tanpa pandang bulu. Tanpa ada diskriminasi antara anak emas dan bukan siapa-siapa."

Hendrik menanggapinya dengan senyuman samar. "Petisi yang kalian bicarakan bahkan bukan petisi resmi dari suatu instansi tertentu," katanya dengan nada meremehkan. "Kenapa sekolah harus bertindak untuk petisi yang ilegal?"

Kedua mata Chiko melebar mendengarnya.

"Tapi petisi itu dibuat oleh Himpu-"

"Himpunan Siswa Gemilang mengelak bahwa mereka membuat petisi tersebut." Hendrik dengan cepat memotong ucapan Chiko. "Hanya karena logo Himpunan ada di sana, bukan berarti petisi itu resmi dibuat oleh Himpunan. Memangnya ada surat edaran resmi tentang program kerja petisi yang ditanda tangani oleh ketua Himpunan, dan sekretaris Himpunan? Yang terdapat cap stempel SMA Gemilang di sana?"

Chiko dibuat tak bisa berkata-kata oleh jawaban kepala sekolahnya.

"Sekali lagi saya bertanya, apakah sekolah harus bertindak untuk petisi yang bersifat ilegal?" Dia bertanya kembali. "Jika petisi itu ditandangani oleh lebih dari setengah murid sekolah ini, apa itu berarti? Tidak ada jaminan bahwa petisi itu aman. Tidak ada jaminan jumlah angka yang tertera di laman petisi adalah faktual. Bisa saja ada kecurangan angka di sana. Siapa yang bisa menjamin? Pembuat petisinya saja tidak diketahui eksistensinya."

Hendrik bertopang dagu, menatap Chiko dengan sorot jenaka. "Tidak ada rasionalisasi untuk sekolah menindaki petisi tidak sah itu. Jadi lebih baik kamu kembali, dan sampaikan kepada teman-teman kamu untuk membubarkan kerumunan. Bukankah kalian sendiri sadar telah mengganggu Kegiatan Belajar Mengajar di sekolah ini?"

Kedua tangan Chiko terkepal. Kepala sekolahnya itu memang sangat cerdik, atau mungkin dia dan teman-temannya yang kelewat bodoh. Chiko sendiri tahu bahwa petisi itu bukanlah program kerja Himpunan, dan singkatnya petisi tersebut memang tidak resmi. Namun dia dan teman-temannya tidak terlalu memikirkan hal itu. Karena mengira sekolah tak akan mempersalahkan. Dan apakah hal itu perlu dipermasalahkan? Saat ini Hendrik pasti hanya sedang mencari-cari alasan untuk menolak menindaki petisi mereka.

Semua perjuangan Chiko dan teman-temannya tidak boleh berhenti di sini. Dia tidak boleh kalah begitu saja dari Hendrik. Teman-temannya di luar sana rela panas-panasan hanya untuk berunjuk rasa. Tidak mungkin dia kembali membawa kabar kegagalan yang akan mengecewakan banyak pihak.

TIGA FAKTORIALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang