2. Misi Uji Coba

485 74 28
                                    

"Bagaimana mungkin siswa beasiswa berani berbuat seperti ini?" Hendrik -kepala sekolah SMA Gemilang- menggeleng pelan menatap Chiko yang duduk di hadapannya. "Apa kamu sadar yang kamu lakukan itu salah? Kamu bisa dihukum."

"Saya gak merasa salah. Mereka malas mengerjakan tugas, dan saya menawarkan jasa kepada mereka dengan imbalan yang telah disepakati sebelumnya. Apa yang salah? Ini cuma bisnis." Chiko masih mencoba untuk membela diri.

"Kamu salah, Chiko. Bisnis yang kamu lakukan itu salah. Kamu seorang siswa di sekolah ini, tugas kamu adalah belajar dengan benar, mengerjakan tugas kamu sendiri, bukan mengerjakan tugas orang lain dengan alasan bisnis. Apalagi bisnis yang kamu lakukan itu curang. Mereka para klien kamu yang malas, mendapatkan nilai tinggi dengan cara tidak jujur. Bukankah itu suatu tindak kecurangan? Bukankah tidak adil untuk siswa lainnya yang mengerjakan tugas dengan sungguh-sungguh?"

Hendrik tersenyum tipis. Pria paruh baya dengan jas hitam rapi itu memang terkenal tenang, tetapi tegas di waktu bersamaan. Entah mengapa, Chiko tak terlalu menyukainya.

"Dengan berat hati, kamu akan dijatuhi SP 1, mengingat kamu adalah murid beasiswa, peraturan akan lebih keras untuk kamu."

Chiko membelalakkan matanya mendengar keputusan itu. "Tapi, Pak-"

"Ada baiknya murid beasiswa seperti kamu tidak berbuat macam-macam. Pertahankan saja nilaimu supaya tidak turun, dan kamu bisa sekolah dengan tenang hingga lulus," ujar Hendrik dengan senyuman yang entah bermakna apa, "ini baru SP 1. Kamu tahu, 'kan, dua kali lagi kamu mendapatkan SP, kamu akan langsung di-droup out dari sekolah ini tanpa banyak ba-bi-bu."

Wajah Chiko berubah pucat. Sebuah amplop berisi Surat Peringatan diberikan Hendrik kepadanya. Chiko menerima itu dengan tangan gemetar. Dikeluarkan dari sekolah adalah mimpi buruk untuknya. Banyak hal yang telah ia korbankan untuk bisa bersekolah di sekolah yang katanya sekolah asrama terbaik di Indonesia.

"Kamu mengerti, Chiko?"

Chiko mengangguk kaku.

"Kalau begitu, silakan keluar. Saya harap setelah ini kamu tidak akan masuk lagi ke ruangan saya karena melakukan sesuatu yang bisa membuat posisi kamu terancam."

Hendrik, kepala sekolah SMA Gemilang. Terlihat berwibawa, murah senyum, selalu bertutur lembut dengan pembawaan yang tenang, tetapi diam-diam mengintimidasi dan tidak pernah main-main dengan ucapannya.

Chiko keluar dari ruangan kepala sekolah, dan berjalan di koridor dengan bahu yang merosot. Kepalanya menunduk, menatap pada amplop surat yang ada di tangannya. Dalam sekejap semua berubah menjadi buruk. Chiko mendapatkan SP 1, dan ia juga kehilangan bisnis yang sudah dia kembangkan sejak kelas X. Semua gara-gara Rey yang cepu, cita-cita Chiko untuk kuliah terancam gagal.

Chiko tidak habis pikir, Rey mengacaukan hidupnya hanya untuk menambah Poin Asrama. Tidak heran jika asrama Dirgantara dijuluki asrama dengan anak-anak paling ambisius di SMA Gemilang. Mereka rela melakukan apa saja untuk mempertahankan posisi mereka di peringkat pertama.

"Eh, lo udah lihat belum? PA kita dikurangi 50!"

Langkah Chiko terhenti saat tak sengaja mendengar percakapan dua orang siswi asrama Antariksa yang sedang berdiri di pinggir koridor. Kepala Chiko sedikit menoleh untuk melihat ke arah mereka.

"Yang bener lo?"

"Iya lihat. Sekarang PA kita tinggal 240. Kira-kira siapa orang yang udah bikin poin Antariksa dikurangin?" Gadis dengan rambut dikucir satu itu terdengar kesal. "Mana 50 poin lagi! Pasti kesalahan fatal."

Chiko menegang.

"Kayaknya ada hubungannya sama asrama Dirgantara, deh. PA mereka naik 50. Lihat, sekarang Dirgantara 350 poin. Denger-denger sih, di kelas XI-1 tadi sempet ada keributan."

TIGA FAKTORIALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang