34. Persiapan

197 23 4
                                    


"Apa rencana kalian?"

Pertanyaan tidak terduga itu disambut raut keheranan dari Rasa dan Chiko. Kedua remaja itu saling memandang dengan sorot bingung. Namun, respons polos tersebut tak membuat Jingga lantas tertipu. Si mantan ketua Himpunan itu berdecak malas sembari memalingkan wajah.

"Di balik semua kekacauan yang terjadi di sekolah ini, pasti ada dalangnya, kan?" ujar Jingga dengan kedua tangan yang dilipat di depan dada. "Kekacauan hanya diciptakan oleh para pembuat masalah."

Mulai paham dengan apa yang Jingga maksudkan, Chiko berupaya untuk menutupi rasa terkejutnya. Dia memandang Jingga dengan sorot muak. "Jangan berbelit-belit."

"Oke!" Jingga tertawa sebentar. "Biar gue perjelas." Dia menyorot tajam ke arah Chiko dan Rasa. "Kalian berdua bekerjasama untuk membuat kekacauan di sekolah ini!"

"Kerjasama apa, sih?" Rasa berpura-pura seolah tidak mengerti dengan apa yang sepupunya itu sampaikan. "Gak usah ngarang!"

Jingga menoleh ke arah Rasa dengan tatapan tajam. "Gue gak ngarang!" Laki-laki itu berkata dengan tegas dan berani. Telunjuknya menunjuk ke arah Rasa dan Chiko secara bergantian. "Kalian berdua yang udah bikin gue lengser dari jabatan gue. Gara-gara kalian!" bentaknya dengan emosi yang membuncah.

"Ngomong apa sih lo?" tanya Chiko dengan nada tidak terima. "Lo lengser karena kesalahan lo sendiri. Jangan salahin orang lain!"

Bagaimana pun Chiko tidak akan bertindak bodoh dengan mengakui perbuatannya bersama Tiga Faktorial selama ini. Keselamatan mereka di sekolah akan terancam. Apalagi untuk Chiko, Sagara, Bunga, dan Elang yang merupakan anak beasiswa. Sedikit saja kesalahan, mereka akan langsung didepak keluar dari sekolah.

"Gak usah ngeles deh. Kalian pasti nyusun rencana terstuktur untuk melengserkan gue dari jabatan gue, iya, 'kan? Terutama lo, Rasa!" Jingga menunjuk wajah Rasa dengan penuh dendam. "Lo pasti iri karena gue selalu jadi kebanggaan keluarga besar. Gak kayak lo yang freak dan gak guna, gue itu anak sekaligus cucu yang ideal. Pasti gara-gara itu lo dengki, dan berusaha untuk hancurin gue!"

"Jaga bahasa lo ya!" bentak Chiko tidak terima karena Jingga sudah menghina sahabatnya.

"Gak usah ikut campur lo!" balas Jingga tak kalah keras.

Ucapan Jingga tadi sedikit menyinggung hati Rasa. Kedua mata gadis itu tampak mulai berkaca-kaca. Namun, sorot sedih tersebut tak bertahan lama. Rasa bukan gadis yang lemah, yang bisa goyah hanya karena kata-kata yang menyakitkan.

"Sesuatu yang didapat dengan cara gak baik, gak akan berakhir baik."

"Maksud lo apa?!"

Rasa tersenyum miring. "Lo yang paling ngerti, apa yang gue maksud."

Tangan Jingga terkepal kuat. Rasanya dia ingin menampar Rasa detik ini juga. Namun, Jingga tak mau kembali menarik perhatian sebagai seseorang yang tempramental. Apalagi dengan memukul seorang perempuan. Harga dirinya bisa jatuh. Citranya akan menjadi buruk. Memenuhi tuntutan amarah hanya akan membuat dia berada dalam masalah.

Merasa tak perlu ada lagi yang dibicarakan, Chiko menarik tangan Rasa untuk pergi dari sana.

"Kalau nanti ada kekacauan lagi di sekolah ini ... gue akan anggap kalian berdua pelakunya."

Rasa dan Chiko menoleh saat mendengar ucapan Jingga.

"Jangan harap kalian bebas melakukan apapun di sekolah ini."

***

Pagi ini Bunga berangkat ke sekolah lebih awal dari biasanya. Dia sengaja ingin mendatangi gudang tempat kertas suara palsu disimpan itu tanpa ketahuan oleh siapapun. Langkah kakinya di koridor sekolah itu memelan saat ia merasa ada orang yang mengikutinya dari belakang sana.

TIGA FAKTORIALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang