23. Misi Belum Tentu

365 54 2
                                    


Aula SMA Gemilang diisi oleh anak-anak asrama Dirgantara yang sedang rapat untuk memutuskan siapa yang akan menjadi delegasi bakal calon ketua umum Himpunan dari asrama mereka. Beberapa nama muncul, salah satunya adalah Reyza, si anak kelas XI-1 IPA.

"Gue bakal maju," putusnya, terdengar tak bisa diganggu gugat. "Gue memenuhi syarat."

Tidak ada yang merasa heran dengan keputusan Rey. Semua orang pun tahu betapa ngebet-nya dia ingin menjadi ketua umum Himpunan Siswa Gemilang. Terlihat jelas saat dia bergabung di Kabinet Alpha, Rey berusaha keras untuk tampil menonjol di hadapan Jingga, menunjukkan bahwa dia akan menjadi penerus terbaik di antara yang lain.

"Gue juga mau," ujar Sandi, yang duduk berhadapan dengan Rey. "Gue juga memenuhi syarat."

Rey memandang Sandi sinis, kemudian memutar bola matanya malas.

"Berarti tinggal satu lagi, ya?" kata salah satu orang di sana. "Asrama kita 'kan punya jatah 3 orang buat mengajukan diri."

Yang lain mengangguk membenarkan. Lalu, tidak ada yang bersuara kembali. Mereka saling memandang satu sama lain, mencari siapa bakal calon ketua umum berikutnya yang akan mengajukan diri. Beberapa kelihatan ragu dan gusar. Seolah ingin mengangkat tangan, tetapi masih ada yang memberatkan.

"Gue bakal maju!" Suara tegas itu terdengar dari arah pintu. Serentak semua perhatian teralihkan kepada seorang siswa yang sedang berjalan memasuki aula. Beragam tatapan dilontarkan padanya, entah itu kaget, bingung, tidak percaya, atau meremehkan.

"Lo siapa?" tanya Rey saat Sagara sampai. Satu alisnya terangkat heran. "Emang lo anggota Kabinet Alpha?"

Sagara tersenyum. Perlahan dia mengeluarkan sebuah id card dari saku almamaternya. Kartu pengenal anggota Himpunan yang biasanya dia gantung di lemari, kini dia tunjukkan kepada orang-orang.

"Bidang Pengembangan Intelektual?" gumam Sandi, membaca id card milik Sagara.

Tidak mengherankan jika orang jarang mengetahui Sagara adalah anak Himpunan ---bahkan untuk anggota Himpunan sendiri. Karena Sagara tidak pernah kelihatan batang hidungnya, entah di rapat, musyawarah, atau pun kegiatan sekolah. Sagara adalah anggota pasif, yang kehadirannya seolah transparan. Jarang berkontribusi, atau mungkin lebih tepatnya belum pernah berkontribusi apa-apa. Alasannya? Ya, karena dia sejak awal tidak niat.

Lantas apakah Sagara tidak mendapatkan peringatan?

Pertama, Sagara mendapatkan peringatan dari ketua bidangnya, berkali-kali tetapi tidak dia gubris.

Kedua, tidak ada tindakan lebih lanjut atas ke-'lalai'-annya. Hal itu karena Sagara dari asrama Dirgantara. Sudah menjadi rahasia umum jika peraturan berlaku lebih lembek untuk asrama terbaik. Ketua umumnya saja ---Jingga--- berasal dari asrama yang sama, jadi itu juga menjadi privilege. Ketua umum yang memihak asramanya sendiri, dan menganggap anggota dari asrama lain sebagai bawahannya.

Himpunan Siswa Gemilang memang sebobrok itu. Akarnya juga berasal dari sistem asrama yang sekolah ciptakan.

"Gue baru tahu lo anak PI." Rey menyambut dengan lebih bersahabat dari sebelumnya. Dia mengulurkan tangan, mengajak Sagara berkenalan. "Gue Rey, dari Pengembangan Aparatur Organisasi."

Sagara sedikit heran dengan respon Rey yang sangat positif. Setahunya, Rey itu adalah ambisius akut yang rela melakukan apapun untuk menggapai tujuannya. Dia licik, bermuka dua, dan oportunis. Tipe orang yang tidak segan untuk menyingkirkan lawan dari jalannya.

TIGA FAKTORIALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang