16. Petisi

336 54 19
                                    

Setelah video editan Bunga ditayangkan, keadaan aula menjadi ricuh. Orang-orang menyoraki, menyindir, bahkan ada yang secara terang-terangan memaki sekolah. Hendrik segera keluar dari aula dengan emosi yang memuncak. Sementara itu, beberapa staf guru yang ada di sana mencoba untuk menenangkan massa, tetapi tak berhasil membuat perbedaan.

Chiko melihat arlojinya dengan tenang. "Sekarang udah waktunya." Dia bergumam. Lantas menoleh ke arah Sagara, Rasa, Elang, dan Bunga. Mereka berempat mengangguk dan terlihat mengambil ponsel mereka.

Tidak lama kemudian, suara notifikasi masuk terdengar saling bersahutan di ponsel para siswa-siswi yang sedang rusuh di aula. Sejenak atensi mereka semua teralihkan. Satu per satu siswa mulai membuka ponsel mereka untuk melihat notifikasi apa yang baru saja masuk.

"Link apaan ini?" tanya salah seorang siswa saat melihat ada nomor tak dikenal mengirim sebuah link di grup angkatan.

"Di lo juga ada?" tanya teman di sampingnya. "Di grup angkatan kelas 11 juga ada nih, liat."

"Teken link-nya."

"Kalau link berbahaya gimana?"

"Bukan, ini petisi. Coba lihat, nih." Salah seorang dari mereka menunjukkan layar ponselnya pada yang lain.

*PETISI PENGHAPUSAN SISTEM SENIORITAS DAN KEKERASAN SEKOLAH DI SMA GEMILANG*

Kali ini aula bising bukan karena ricuh dan rusuh lagi, melainkan sibuk membahas petisi yang baru saja tersebar di grup angkatan oleh nomor tidak dikenal.

"Apaan dah?" Didi memandang ponselnya dengan kening berkerut. "Gak ngerti gue."

Sagara yang berdiri di sampingnya, menoleh. "Lo gak bisa baca? Itu petisi. Petisi penghapusan senioritas dan kekerasan di sekolah kita," jelasnya dengan gemas.

"Siapa yang bikin, ya?" tanya Didi penasaran. "Kok momennya bisa pas gini?"

Sagara hanya tersenyum samar sambil mengangkat bahunya.

"Kalian pada mau isi?" Sagara menoleh mendengar perkumpulan siswi di dekatnya yang sedang berdiskusi.

"Gue ngikut aja. Kalau banyak yang isi, ya gue juga isi."

"Emang ini berguna, ya?"

"Siapa sih yang bikin petisi gini?"

"Himpunan kali. Lihat aja tuh, ada logo Himpunan sekolah kita di petisinya. Di sini juga tulisannya dimulai oleh Himpunan Siswa Gemilang."

Sementara itu, Jingga yang sedang berkumpul bersama beberapa anggota Himpunan Siswa Gemilang tampak panik dan kalang kabut. Jingga tahu ada yang salah dengan video yang diputar di infokus. Video itu bukan video buatannya, bukan pula video yang disiapkan sekolah. Video itu telah membuat kekacauan. Yang membuat Jingga panik adalah, video itu diputar dari laptopnya.

"Jing, gimana ini?" tanya salah seorang anggota Himpunan. "Ada petisi di grup angkatan. Anak-anak ngira Himpunan yang bikin petisi ini."

Jingga mengerjap. "Hah?" Sungguh dia tidak mengerti karena belum membuka ponsel sejak tadi.

Akhirnya salah seorang menunjukkan link berisi petisi yang tersebar di seluruh grup angkatan kepada Jingga.

"Anak-anak ngira Himpunan bikin petisi ini sebagai wadah aspirasi dan tuntutan ke pihak sekolah untuk kasus kekerasan di sekolah kita." Temannya Jingga yang bernama Liora itu terlihat cemas. "Masalahnya kita gak tahu apa-apa, kan?"

"Bentar, deh ...." Rendi, salah satu anggota Himpunan ikut bicara. "Video tadi diputer dari laptop lo, 'kan? Kemarin malam lo bilang disuruh editin video sama Pak Hendrik. Jangan bilang ... ini ulah lo?"

TIGA FAKTORIALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang