15. Sabotase (2)

312 55 13
                                    

Jam istirahat pertama.

Terdengar suara pengumuman di speaker sekolah yang memerintah seluruh siswa untuk berkumpul di gedung aula. Banyak yang merasa penasaran kenapa mereka tiba-tiba dikumpulkan, lain halnya dengan anggota Tiga Faktorial yang sudah tahu apa yang akan terjadi.

Setelah semua orang berhasil dikumpulkan di aula, Hendrik maju ke depan, dan menyalakan mikrofon agar suaranya terdengar oleh semua orang.

"Mohon untuk diam," peringatnya tegas karena suara gaduh yang diciptakan oleh sebagian siswa yang mengobrol. "Saya mohon perhatian kalian sebentar. Tolong jangan berisik."

Perlahan Aula berubah menjadi hening.

"Baiklah, selamat pagi, Anak-anakku yang bapak banggakan."

"Pagi!!" sahut siswa-siswi dengan serentak.

"Mungkin untuk mempersingkat waktu, saya ingin langsung ke poinnya," ujar Hendrik, "Sekolah mendengar desas-desus baru mengenai kematian siswi sekolah kita, Rona Swastanita. Tampaknya sekolah kita kembali ramai dengan kasus yang sudah ditutup. Banyak siswa-siswi SMA Gemilang yang percaya dengan gosip yang beredar, kemudian menyebarkannya secara luas. Untuk itu sekolah hanya ingin menegaskan, bahwa postingan yang tertera di akun Tiga Faktorial adalah hoax."

Infokus menunjukkan gambar profil akun Instagram milik Tiga Faktorial yang di tengah-tengahnya di cap tulisan 'HOAX' dengan ukuran besar.

"Akun ini yang tidak jelas siapa pemiliknya, mengunggah sebuah foto diary yang mereka klaim sebagai diary Rona. Tidak ada bukti nyata bahwa diary yang mereka posting adalah diary milik almarhum Rona. Tidak ada bukti bahwa Rona yang telah menulis semua tulisan di diary itu." Kali ini infokus menunjukkan foto-foto postingan diary di akun Tiga Faktorial. "Entah apa motif pemilik akun ini memposting berita palsu, yang pasti karena gosip yang mereka sebarkan, mereka berhasil mengumpulkan ratusan followers dalam waktu singkat."

Chiko mengerutkan keningnya. Terlihat tidak suka.

"Ya, panjat sosial," kata Hendrik membuat anggota Tiga Faktorial yang mendengarnya memutar bola mata malas. "Mereka tahu bahwa kasus Rona masih hangat di sekolah kita, itu sebabnya mereka mencari panggung di sana. Mereka membuat sensasi yang akan menarik perhatian orang-orang untuk membicarakannya. Untuk ketenaran atau kesenangan? Yang pasti, karena berita hoax yang mereka sebarkan, nama baik sekolah kita menjadi tercoreng."

Semua orang di sana tampak mendengarkan.

"Sekolah kita bisa saja dicap sebagai sekolah tempat kekerasan, karena postingan yang akun tersebut publikasikan. Padahal sekolah ini tidak pernah tutup mata dengan tindakan kekerasan seperti perundungan. Kami tidak pernah pula membeda-bedakan siswa, apalagi melakukan diskriminasi. Postingan ini jelas fitnah dan merusak citra sekolah!"

Sagara berdecak malas.

"Rona Swastamita mengakhiri hidupnya karena depresi ayahnya meninggal dunia, bukan karena dia dirundung oleh siswa-siswi di sekolah ini!" Hendrik menegaskan. "Untuk itu, saya akan meminta salah satu kawan terbaik Rona untuk memberikan sedikit penjelasan agar kalian percaya dan berhenti membuat asumsi tidak bertanggungjawab."

Mendengar itu, Rasa langsung teringat dengan Kinara yang dipanggil ke ruangan kepala sekolah kemarin malam.

"Kinara Kania, XI-1 IPA. Silakan maju ke depan."

Dugaan Rasa benar, Kinara yang dipanggil. Gadis itu berjalan ke depan dengan wajah yang terlihat tegang. Kepalanya menunduk, seolah tak berani menatap mata orang-orang di hadapannya. Hendrik tersenyum sambil menepuk bahu Kinara dua kali. "Seperti yang sudah kita bicarakan kemarin malam, Kinara," bisik Hendrik pelan saat melewati Kinara.

TIGA FAKTORIALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang