33. Teknik Kecurangan

267 31 4
                                    

Dengan tangan penuh membawa kantong kresek dan kertas-kertas hasil fotokopian, Bunga menyusuri koridor sekolah yang sepi itu dengan rasa dongkol. Wajahnya yang berkeringat itu tampak masam. Bagaimana tidak, sudah capek pulang sekolah, dipaksa harus bolak balik ke sana kemari untuk membeli titipan para panitia pemilihan.

"Apa gue kabur aja, ya?" Ide licik itu datang tiba-tiba. Daripada terus-terusan menjadi babu tanpa mendapat benefit apapun yang bisa membantu misinya, lebih baik Bunga akhiri saja sekalian.

Bunga melihat berkas-berkas fotokopian, gorengan, minuman, batagor, hingga pembalut yang dia bawa itu dengan senyum iblis. Jika semuanya dibawa pulang ke asrama, lumayan juga, kan? Kecuali mungkin, berkas-berkas fotokopian yang tidak terlalu berguna itu –bisa dia gunakan halaman kosongnya untuk kotretan Matematika.

Betapa cerdasnya otak Bunga. Gadis itu tersenyum damai dan hendak berbalik untuk pulang ke asrama. Namun, dia mengurungkan niat saat tak sengaja melihat Jingga ke luar dari ruang aula dan berjalan seorang diri entah mau ke mana. Karena merasa penasaran dan curiga, Bunga memilih untuk diam-diam membuntuti si mantan ketua Himpunan.

Agar tidak ketahuan, Bunga menjaga jarak aman. Dia dapat melihat Jingga berhenti di depan sebuah gudang di ujung koridor gedung IPA. Sebelum masuk, Jingga melihat sekitarnya –seolah memastikan bahwa tidak ada yang melihatnya masuk ke sana. Sayangnya, Jingga tidak sedetail itu untuk mengetahui bahwa ada Bunga yang bersembunyi di balik tembok.

Bunga merasa makin curiga. Dia berjalan menuju gudang itu dengan sangat berhati-hati agar tidak menimbulkan suara. Gadis itu berhenti di dekat jendela, dan berusaha mengintip dari sana. Matanya menyipit, mencoba untuk mencari keberadaan Jingga karena penglihatannya dihalangi oleh beberapa barang usang yang ada di depan jendela.

"Berapa banyak, sih?"

"Tujuh puluh lima persen dari total murid di sekolah kita kayaknya udah cukup."

"Total murid di sekolah ini gue gak tahu, Jing. Apalagi persenan-nya."

"Ya udah, gak usah banyak bacot."

Kening Bunga berkerut mendengar pembicaraan samar-samar itu. Dia memberanikan diri untuk melihat lebih mendekat. Matanya mengintip ke dalam jendela dan terkejut saat melihat ada tumpukan kertas pemilihan yang sudah dicoblos. Bahkan di sana, ada juga dua orang yang tampak sedang mencoblos nomor urut Rey di kertas pemilihan. Setelah Bunga perhatikan kembali, di sudut gudang juga ada sebuah kotak suara.

"Tahun lalu lo juga gini, Jing?"

"Setiap tahun juga gini," jawab Jingga. "Gak ada yang murni, oke? Kalau mau menang, ya lakuin berbagai cara."

Teman Jingga itu tertawa. "Tapi kalau yang kayak begini sih kayaknya cuma di sekolah kita aja." Dia mencoblos foto Rey tepat di bagian hidung cowok itu. "Dididik culas sejak dini. Keadilan cuma dijadiin pencitraan."

"Tapi amplop-nya lo suka, kan?" sahut Jingga sambil bersandar ke tembok. Dia melipat tangannya di depan, menatap sinis dua temannya yang kini sama-sama tertawa.

"Masalah duit siapa sih yang gak suka?" jawab salah satunya sambil mencolok wajah Rey. Kali ini tepat di salah satu matanya.

"Kalau kejujuran dan suara kalian masih bisa dibeli sama sejumlah uang, gak usah sok mengkritisi." Jingga berdecak. "Tipikal orang Indonesia banget. Munafik."

Dua teman Jingga saling menatap.

"Santai aja kali, Jing."

"Iya. Negara ini 'kan negara demokrasi. Kita bebas dong, buat bicara."

TIGA FAKTORIALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang