7. Desas-desus Kematian Rona

434 61 20
                                    

Chiko berjalan membawa piring berisi sarapannya ke meja makan dengan malas. Ia duduk bergabung bersama Kelvin dan Bayu yang sudah lebih dulu sampai darinya. Tanpa menyapa —tak seperti biasa— Chiko langsung memakan sarapannya dengan tampang tidak bernafsu.

"Kok, lo gak pakai seragam?" tanya Bayu saat melihat Chiko mengenakan kemeja hitam polos alih-alih seragam batik seperti jadwal penggunaan seragam hari ini.

Chiko menjawab lesu, "Mau ke pemakaman dulu gue."

"Wah, emang lo kenal sama Rona?" tanya Bayu heboh sambil memukul meja. Beberapa saat kemudian, dia menyengir. "Maksud gue, emang kalian temenan?"

"Temen sekolah."

Bayu berdecak. "Maksud gue temen beneran. Kayak kita. Temen yang saling ngobrol, bukan cuma tahu muka sama nama doang, elah!"

Chiko terdiam sebentar. "Gak."

"Nah, kan! Terus ngapain lo ikut ke pemakaman? Sok akrab banget!" Bayu tertawa sambil memasukkan sesendok nasi kuning ke dalam mulutnya. Detik itu juga dia tersedak, dan buru-buru meneguk air putih di depannya.

"Sok akrab gimana, orangnya aja dah gak ada." Chiko hanya mendelik Pada Bayu yang saat ini sedang batuk-batuk sambil memegang lehernya.

"Palingan juga mau bolos dia," ujar Kelvin menuduh. Ia menunjuk Chiko dengan sendoknya yang terdapat beberapa butir nasi kuning yang masih menempel, "Bentar lagi UTS, jangan males-males lo. Gue butuh contekan!"

"Ngarep!" Chiko bersiap untuk melempar sendok di tangannya ke arah Kelvin, tetapi urung saat melihat Rasa sedang melewat sambil membawa sarapannya seorang diri. Gadis itu mengenakan seragam batik, menandakan ia tak akan ikut ke pemakaman.

Setelah selesai sarapan, Chiko bergabung dengan orang-orang yang akan ikut ke pemakaman Rona. Untuk siswa yang ikut, ternyata tak lebih dari sebelas orang. Semuanya berasal dari Asrama Benua, dan Chiko satu-satunya anak Asrama lain di sana, sehingga ia merasa seperti terisolasi karena tak kenal dan akrab dengan anak yang lain.

Selama prosesi pemakaman, Chiko dapat melihat bibi Rona yang menangis histeris seolah tak terima keponakannya telah berpulang kepada Yang Maha Kuasa.

"Rona ..., kenapa kamu pergi kayak gini?" Bibi Rona menangis tersedu-sedu di pinggir kuburan yang sedang ditutupi tanah. "Kamu gak pernah cerita kalau ada masalah. Kenapa kamu milih pergi daripada cerita?"

"Lebay banget."

Chiko menoleh pada gadis di sampingnya yang baru saja berkomentar. Gadis itu berdiri bersama empat orang lainnya. Di antara empat orang itu, dua di antaranya adalah laki-laki. Mereka berlima terlihat memasang wajah yang sama sekali tidak sedih ataupun simpati.

"Syukur dia mati," sahut laki-laki yang berdiri di samping gadis tadi. Seringai licik terlihat di wajahnya. "Salah satu masalah kita beres, 'kan?"

Sebetulnya mereka berbicara dengan nada yang pelan, sehingga orang lain tak mungkin mendengar. Tetapi karena jarak Chiko dekat dengan mereka, jadi dia bisa sedikit menguping pembicaraan.

"Habis ini kita gak punya mainan lagi."

"Cari aja yang baru. Anak kelas satu banyak yang songong tuh."

"Kali ini biarin gue yang pilih."

Chiko bergeming mendengar dialog pembicaraan lima orang itu. Ia menoleh sedikit, memperhatikan wajah mereka berlima. Jika Chiko tidak salah, mereka adalah kakak kelasnya. Mengenai nama, Chiko tak tahu. Yang pasti dari obrolan mereka, Chiko bisa menyimpulkan bahwa mereka kemungkinan bukan orang baik, dan bisa saja memiliki keterkaitan dengan Rona.

Chiko mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dia mengernyit saat melihat ada seseorang yang sedang berdiri menatap proses pemakaman, dari balik pohon pisang yang terletak agak jauh dari area makam. Chiko menyipitkan mata, mencoba untuk memperhatikan laki-laki dengan jaket dan seragam batik itu dengan jelas.

TIGA FAKTORIALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang