20. Malam itu

352 51 5
                                    

Di atas rooftop gedung IPS, Rasa berdiri memandang pemandangan SMA Gemilang dengan sorot hampa. Semilir angin menerpa lembut kesendirian itu. Suasana sepi yang tenang dan damai. Sedikit menjernihkan kekeruhan yang ada di kepala Rasa.

Tiba-tiba saja suara langkah kaki terdengar. Sontak Rasa menoleh. Terlihat seorang laki-laki dengan kacamata kotak berjalan menghampirinya. Sedikit mengerjutkan, karena Rasa tidak pernah menyangka, orang itu akan menemuinya di rooftop. Atau mungkin memang sudah mengikutinya sejak tadi?

"Sagara?" panggil Rasa bingung. Gadis dengan rambut yang sedikit berantakan karena angin itu menunduk muram. "Apa yang membuat lo datang ke sini?"

Sagara berhenti di samping Rasa. Matanya menatap lurus ke depan. Tak menoleh atau mengucapkan sepatah kata apapun. Cukup lama mereka berdua hanya hening. Di antara Tiga Faktorial yang lain, mereka yang paling tidak akrab, kan?

"Pertanyaan lo tadi, harusnya gue yang nanya itu ke elo." Akhirnya ada yang bersuara juga, Sagara. Laki-laki itu menoleh kepada Rasa dengan tatapan penuh selidik. "Lo ngapain nongkrong di rooftop gedung jurusan gue?" satu alisnya terangkat. "Harusnya lo pergi ke rooftop gedung jurusan lo, kan?"

Tatapan mata Sagara beralih. Pandangan Rasa mengikuti arah lirikan laki-laki itu, Rooftop gedung IPA yang ada di samping rooftop gedung IPS. "Harusnya lo pergi ke rooftop IPA ..." Matanya menatap tajam. "Sama seperti yang lo lakukan malam itu. Ngikutin Rona."

Mendengar itu, Rasa menghela napas. Dia memandang Sagara malas. "Jadi ... lo masih penasaran tentang hal itu?" Sudah Rasa duga, Sagara menaruh curiga kepadanya. Sejak pertemuan mereka di ruang rahasia tadi, Sagara sudah menatapnya seperti pencuri yang harus diselidiki. Entah apa masalah laki-laki itu.

"Tentu gue penasaran." Sagara memasukkan kedua tangannya ke saku celana. "Jelas-jelas gue lihat dari CCTV, lo ngikutin Rona malam itu," ujarnya sembari menoleh, "Kalian ... bahkan sempat ribut."

Ekspresi wajah Rasa berubah saat mendengarnya. Gadis dengan jepit rambut bunga itu menunduk. Tampak muram. "Gue gak mau bahas ini," ujarnya seperti bisikan. Dia berbalik hendak pergi, tetapi Sagara dengan cepat menahan tangannya.

"Lo gak bisa pergi begitu aja," kata Sagara. Dia semakin mencengkeram tangan Rasa saat gadis itu berusaha untuk melepaskan diri. "Lo itu saksi mata saat Rona lompat, tapi kita semua gak pernah bahas ini," katanya, "Lo gak pernah bahas tentang ini." Dia memberi penekanan di akhir.

Rasa menghempaskan tangan Sagara saat cengkeraman laki-laki itu mengendur. "Apa perlu dibahas?" tanya Rasa dengan kesal. "Alasan Rona bunuh diri itu udah jelas. Masalahnya udah clear. Kenapa lo bahas-bahas lagi sekarang?"

Suasana memanas. Sagara memandang Rasa dengan sorot menghakimi. "Karena sebelum Rona lompat, dia ribut sama lo." Senyuman miring terulas. "Apa yang kalian ributin? Kenapa lo gak pernah bahas ini ke anak-anak?"

Hanya diam dengan gestur gelisah. Respon Rasa ini membuat Sagara semakin menaruh rasa curiga. "Apa ada yang lo sembunyikan dari kita semua?" tanyanya menuntut. "Tentang Rona malam itu?"

Kepala Rasa mendongak, menatap Sagara dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. "Malam itu ...."

Malam kematian Rona.

Di koridor sekolah yang gelap, Rasa berlari sendirian dengan berbekal senter dari handphone. Loker nomer 5 X-2 IPS, tujuan Rasa saat ini. Sesuai seperti yang diperintahkan dari suatu situs bernama 3!.

Namun, ketika sedang melewati koridor gedung IPA sebelum pergi ke gedung IPS, langkah Rasa terhenti. Gadis itu segera bersembunyi di balik tembok, kala melihat seorang perempuan sedang menangis di depan sebuah loker. Matanya menyipit. Rasa terkejut ketika melihat bahwa perempuan itu adalah Rona.

TIGA FAKTORIALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang