32. Rencana Mendekati Jingga

337 28 12
                                    

 "Luar biasa!" Dalam ruang minimalis tersebut, Elang bersorak heboh. "Ternyata segala kecurigaan kita selama ini benar!" Dia menggebrak meja dengan penuh rasa semangat. "Gak sia-sia kita jadi orang yang suudzon-an." Detik itu juga, Elang mendapat satu jitakan dari Sagara.

"Berisik!"

Melihat wajah Sagara yang kesal, bahkan sangat kesal, Elang sedikit tergelitik.

"Kasihan yang bakal dicurangin sama anak donatur ...." Dengan sengaja Elang malah meledek dengan puas hati. "Pemilihan cuma formalitas. Pemenangnya udah ditentuin sejak awal, Sag. Nyesek gak?"

Sagara melirik Elang dengan tatapan seolah ingin membunuh. "Ngomong lagi gue tendang bokong lo."

"Ampun, Bang Jago." Elang menyatukan kedua tangannya dengan wajah meledek.

Keributan kecil itu hanya ditonton oleh Chiko, Rasa, dan Bunga yang juga sama sedang berada di ruang rahasia, atau yang sekarang Chiko sebut dengan r kuadrat. Chiko memberi nama sebutan khusus untuk ruang rahasia karena dia pernah tak sengaja menyebut ruang rahasia di hadapan Kelvin, yang membuat teman satu kamarnya itu terus melayangkan berbagai pertanyaan. Akhirnya Chiko mendapat nama lain untuk menyebut ruang rahasia, yaitu r kuadrat. Ilham itu datang saat dia sedang mempelajari rumus luas lingkaran.

"Kira-kira bagaimana cara Pak Hendrik memanipulasi hasil pemilihan nanti?" tanya Rasa yang sedang melamun sambil bertopang dagu. Sejak dia mendengar rekaman suara dari alat penyadap yang ditaruh di ruang kepsek, dia sama sekali tidak bisa mengalihkan perhatian dari kecurangan yang akan terjadi itu.

"Sebenarnya, tanpa Rey curang pun belum tentu gue yang menang." Sagara membuang napas kasar.

"Tapi kemungkinan besar orang-orang bakal pilih lo," sahut Chiko. "Dan itu yang buat Rey ketakutan sampai memilih untuk berbuat curang."

Sagara bersandar lemas ke kursi. "Kenapa manusia sehaus itu akan kekuasaan? Bahkan untuk kekuasaan kecil sekalipun."

Bukan hal baru bahwa manusia haus akan kekuasaan hingga bersedia menghalalkan berbagai cara. Namun, baru kali ini Sagara benar-benar menyaksikan secara langsung –bahkan sampai menjadi orang yang berpotensi akan dicurangi. Sagara hanya merasa miris. Hanya untuk kekuasaan kecil, seseorang mampu melakukan hal picik hingga rela kehilangan integritas diri. Lantas bagaimana dengan kekuasaan yang besar? Semakin besar keuasaan tersebut, semakin banyak yang mengincarnya, dan tak menutup kemungkinan semakin banyak pula jalan yang akan ditempuh untuk meraihnya.

Padahal kekuasaan dunia hanyalah sesuatu yang semua. Semua kekuasaan dunia terbatas akan wilayah dan waktu. Tak ada yang namanya kekuasaan menyeluruh dan abadi di dunia ini. Yang abadi dan tak terhingga, hanya kekuasaan yang dimiliki Tuhan. Kekuasaan yang tak dibatasi ruang dan waktu.

"Justru dari kekuasaan yang kecil itu manusia bisa berjalan menuju kekuasaan yang besar." Bunga berpendapat, menjawab pertanyaan yang sempat Sagara lontarkan. "Kecil atau besar, kekuasaan tetaplah kekuasaan."

Rasa membuang napas lelah. "Kita harus cari tahu secepatnya, bagaimana Pak Hendrik memanipulasi hasil suara nanti." Dia menatap teman-temannya dengan serius. "Kecurangan ini bukan pertama kali. Setiap tahun, yang terpilih sebagai ketua Himpunan, adalah orang yang udah Kepala Sekolah tentukan. Jadi, ada kemungkinan bahwa setiap tahun cara yang dilakukan sekolah untuk curang, itu sama."

"Jadi, kita harus cari tahu taktik kecurangan pemilihan tahun lalu?" tanya Elang.

"Kalau bisa, iya." Rasa menjawab. Sebetulnya dia juga sedikit bimbang. "Gue sempet kepikiran untuk nyari tahu lewat Jingga, tapi kayaknya sekarang udah gak mungkin."

TIGA FAKTORIALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang