12. Diary

329 51 20
                                    

Anggota 3! berkumpul di ruang rahasia setelah membaca pesan yang Sagara kirim. Chiko, Rasa, Bunga, dan Elang duduk dengan gelisah menunggu kehadiran Sagara yang paling lambat di antara mereka berempat. Sengaja sekali ingin membuat mereka semua penasaran setengah mati.

"Gue gak nyangka dia berguna juga. Gue kira cuma bakal jadi beban." Elang tersenyum sambil menggeleng tidak habis pikir. "Gercep banget gak, sih?"

Tidak lama setelah itu, pintu terbuka. Tampak Sagara yang berjalan masuk sambil memamerkan sebuah buku bersampul merah muda yang ada di tangannya. Dia tersenyum sambil mengangkat dagu. Merasa bangga atau ... sombong?

"Kok lo bisa dapat bukunya sih, Kak?" Pertanyaan pertama langsung Bunga todongkan ketika Sagara baru saja duduk di kursinya. "Itu beneran diary-nya Kak Rona?"

"Gue rasa," jawab Sagara dengan yakin. Ia meletakkan diary itu di tengah-tengah meja. Semua orang merapat, ingin memperhatikan buku itu lebih dekat. Perlahan Sagara membuka buku tersebut, menunjukkan halaman pertama yang sobek dan menyisakan sedikit bagian yang tidak jelas apa isinya.

"Apa tulisannya?" tanya Rasa.

Chiko memerhatikan sobekan halaman pertama itu dengan intens. "Ini kayaknya bagian nama gak, sih? Biasanya halaman pertama isi nama sama biodata gitu. Coba deh perhatiin kata-kata awal yang masih tersisa." Dia menunjuk ke sebuah tulisan yang tersobek.

"Lo bener. Kayaknya ada yang sengaja sobek bagian ini supaya gak ketahuan siapa pemilik buku ini," kata Elang berasumsi. Yang lain mengangguk setuju.

Kemudian di halaman kedua, ketiga, dan seterusnya, hanya penuh oleh coretan pulpen. Seolah ada yang sengaja mencoret halaman itu untuk menutupi tulisan-tulisan di sana. Halaman lain yang dibuka, hanya berisi sobekan. Cukup banyak halaman yang disobek dengan tidak rapi, seperti disobek dengan terburu-buru. Setelah itu hanya ada halaman yang kosong.

Embusan napas panjang terdengar. Chiko kembali duduk di bangkunya sambil mengacak-acak rambutnya frustrasi. "Ternyata gak membantu."

Sagara berdecak kesal sambil menutup diaty itu dengan keras. Susah payah ia berusaha mencuri diary itu dari tas Zen, ternyata semua isinya telah dirusak.

Kini semua duduk kembali di bangku masing-masing dengan wajah ditekuk, dan kelihatan putus asa.

"Gue yakin ada petunjuk di buku itu. Makanya buku itu dirusak." Chiko merasa sangat yakin dengan asumsinya. "Diary ini pasti milik Rona."

"Itu emang diary Rona. Warna dan gaya halamannya sama kayak sobekan halaman yang gue temuin di gudang," ujar Rasa, membenarkan.

"Apa mungkin sobekan lain juga di gudang?" tanya Bunga.

"Gue udah cari, cuma ada tiga." Rasa mengeluarkan sesuatu dari saku almamaternya dan menunjukkan tiga lembar halaman diary itu kepada teman-temannya. Semua orang melihatnya dengan penasaran.

"Halaman yang disobek di buku ini lebih dari tiga. Kita harus cari sisanya!" Elang berujar dengan sangat berapi-api. Antusiasme-nya pada kasus Rona semakin meningkat gara-gara ini.

"Ya, tapi di mana?" Bunga bertanya dengan nada putus asa.

"Tunggu ...." Setelah agak lama terdiam, akhirnya Sagara membuka mulut. Ia memandang teman-temannya satu per satu, "Gue pernah bilang, 'kan, sama kalian? Malam itu gue lihat Rona nangis di depan loker kelas XI-1 IPA, agak lama, sebelum akhirnya dia naik ke rooftop dan lompat. Mungkin aja-"

"Ada sesuatu di sana?" potong Elang dengan menggebu-gebu. Sagara mengangguk setuju.

Chiko tersenyum karena merasa mendapatkan pencerahan. "Ada yang tahu keadaan lokernya Rona?" tanyanya, "Setelah dia gak ada ... lokernya gimana?"

TIGA FAKTORIALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang