Seusai menunaikan sholat Dhuhur nya, Mahajana berniat untuk mengunjungi Arum. Sebenarnya, niat utama lelaki itu adalah untuk mengatakan kepada Arum yang sejujurnya bahwa tahun depan ia dan kekasih nya itu akan berjauhan.
Mahajana sudah menggunakan setelan baju yang menurutnya begitu pantas dan berkharisma ketika digunakan. Dia sudah rapih dan wangi seperti seorang pejabat, tidak lupa dengan Samson yang sudah bersih sehingga nyaman sekali dilihat.
"Bun, kula badé teng griyane Arum" [Bun, aku mau ke rumahnya Arum]
Pamit Mahajana kepada Ratna yang kebetulan sedang berada di depan beranda rumah.
"Wangsul jam pinten, cung bagus?" [Pulang jam berapa, anak ganteng?] Tanya Ratna dari arah dapur.
Mahajana nampak berfikir. "Mboten uning, tapi mboten sampe sonten" [Tidak tahu, tapi tidak sampai sore]
***
Arum sedang duduk di ruang tamu. Tangannya memegang sepotong kue yang Lasmi beli di warung. Wajahnya begitu lesu, tidak ceria dan penuh senyum seperti biasa. Ia memasukan kue itu kedalam mulutnya lagi lalu beranjak keruang makan untuk mengambil minum.
Saat sedang diruang makan, ia mendengar suara klakson yang sangat amat familiar di indera pendengaran nya. Dengan sedikit terburu-buru, perempuan itu berlari keluar, dan benar saja ia mendapati seorang lelaki yang sedang berdiri di samping motor Astrea kesayangannya dengan senyum lebar seperti baru memenangkan kupon berhadiah.
Dia adalah Mahajana.
Arum membalas senyuman kekasihnya. Dengan bertelanjang kaki, ia menghampiri Mahajana yang sedang berdiri santai di samping Samson-yang tidak lain dan tidak bukan adalah motor kesayangannya.
"Sedang sibuk?" Tanya Mahajana. Arum menggeleng. "Ayo masuk, biar nanti ku buatkan teh manis." Arum mengajak Mahajana masuk.
***
"Ini, diminum dulu." Arum menyodorkan teh manis kepada Mahajana.
"Jadi sangat merepotkan."
"Tidak juga."
Mahajana memperhatikan wajah Arum kemudian ia memandangi teh manis yang berada di depannya. Rasanya sangat berat untuk mengatakan ini kepada Arum.
"Rum." Panggil Mahajana.
"Iya?"
Mahajana diam lalu menggeleng. "Tidak apa-apa Rum."
"Oh, baiklah." Jawab Arum singkat.
"Rum."
"Kenapa?"
"Aku ingin mengatakan sesuatu."
"Apa??"
Mulut Mahajana rasanya seperti tertahan.
"Kenapa diam?" Tanya Arum bingung.
"Aku...."
"Kenapa????" Wajah Arum sudah terlihat sangat kesal. Sementara Mahajana bingung, bagaimana cara ia mengatakan kepada Arum agar perempuan itu paham dan tidak bersedih. Ia menghela nafas, lalu dengan kepala sedikit tertunduk ia mulai berkata pelan, tapi masih mampu terdengar di telinga Arum.
"Aku akan pergi dari kota ini tahun depan."
Arum diam. Ia tidak memberikan reaksi apapun. Wajahnya datar, sudut matanya tidak mengeluarkan air yang berlinangan membasahi pipi, ia juga tidak menyerbu Mahajana dengan ribuan pertanyaan seperti seorang Wartawan. Mahajana yang semula tertunduk, kini perlahan mulai mengangkat wajahnya dan menatap Arum dengan ekspresi yang bingung, sementara Arum masih dengan ekspresi yang sama : datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
ROMANTIKA MAHAJANA [ON GOING]
RomanceBagi Mahajana, Arum adalah salah satu mimpi yang harus ia wujudkan. Arum, dan Arum. Tetap dan selalu Arum. "Arum, panjang umur selalu. Sebab salah satu mimpiku ada pada dirimu." Dan bagi Arum, Mahajana adalah salah satu alasannya untuk tetap hidup...