Mahajana termenung diruang tamu sambil memikirkan nasib Samson dan janjinya dengan Santoso. Jika ia ingin membatalkan janji, pasti kecewa betul hati Santoso. Tapi, dengan apa ia ingin pergi? Mahajana sudah tidak bisa berharap banyak kepada Samson.
Lelaki itu berdiri lalu melangkahkan kakinya ke kamar untuk meratapi nasib sambil berharap bahwa Santoso mau berbaik hati dan dengan ikhlas sukarela untuk meminjamkan mobilnya untuk diajak memutari kota.
Terlalu asik meratapi nasib, telepon di atas malas berdering begitu kencang. Mahajana mengangkat telepon tersebut lalu menunggu orang dari seberang sana mengucapkan salam.
"Halo, Mahajana."
Ah, Santoso rupanya.
"Kau masih di rumah kan?"
"Masih, kenapa? Kau mau kita pergi jam berapa?" Tanya Mahajana.
"Bukan, bukan masalah itu." Jawab Santoso. "Tapi....I-itu, aduuuh bagaimana pula aku menjelaskan nya."
Mahajana menggeser kursi yang tadinya berada di samping meja belajarnya menjadi berada di sebelahnya, agar ia bisa duduk.
"Begini kawan, bukannya aku ini mengkhianati janji, tetapi hari ini aku harus kembali menjaga kambing milik kakekku. Ini mendadak, sebab kakek harus pergi."
"Oh, begitu? Ya sudah, tidak apa-apa. Kau jalankan saja amanah itu." Mahajana menjawab dengan santai. Namun di seberang telepon, terdengar Santoso mengucapkan berkali-kali kata maaf.
"Tapi tenang saja. Sebagai gantinya, aku sudah memerintahkan Aryo untuk menemanimu. Anak itu berada di rumahku sekarang."
Terdengar Aryo dari balik telepon yang Mahajana perkirakan, sedang memakan camilan di atas meja ruang tamu Aryo.
"Biar Aryo yang akan mengantarmu, menaiki mobilku."
Ada senyum merekah dari bibir Mahajana. Akhirnya, dengan tulus hati Santoso mau meminjamkan mobilnya.
"Ah, yang benar? Ikhlas tidak kau meminjamkan mobil?" Mahajana memastikan.
Terdengar decakan dari seberang telepon. "Iya, aku ikhlas. Kau bersiaplah, biar nanti Aryo kerumah mu."
***
"Ibu tidak tahu, lagipula, ini 10 8 91 itu siapa?"
Arum menggeleng. "Aku juga tidak tahu Bu. Mas Bagja bilang, mungkin ini dari saudara kita yang berada jauh."
Lasmi menggaruk kepalanya bingung. Ia sudah berkali-kali dan bolak-balik membaca dua surat tersebut, namun tetap tidak mendapat petunjuk siapa si pengirimnya. Baginya, 10 8 91 seperti sebuah 'nama samaran', entah apakah si pengirim surat ingin menjadi sok misterius, atau memang ada sesuatu yang akan mengancam keluarga Lasmi?
Nauzubillah.
"Bu, sudahlah, kita lapor polisi saja. Percuma jika kita terus menerus menerka." Sahut Bagja yang duduk tepat di samping Arum.
"Bagja, jangan terburu-buru dulu. Mungkin memang ada saudara jauh kita yang ingin berkabar lewat surat, seperti tadi kata adikmu. Mungkin juga, ibu yang lupa kalau memang kita punya saudara jauh." Lasmi mencoba untuk berfikir positif. Sementara Bagja tetap pada pendiriannya untuk melapor ke pihak berwajib.
Arum mengambil selembar surat lalu membaca nya ulang.
Arum memang bukan orang yang memiliki kecerdasan sangat tinggi hingga bisa menemukan beberapa kode di dalam surat, tapi Arum tahu bahwa ini bukan surat biasa. Sebab si pengirim beberapa kali mengingatkan dirinya, Lasmi terutama Bagja untuk menjaga kesehatan dan juga melarang Bagja untuk mengonsumsi kopi berlebihan apalagi sampai begadang. Tidak ada yang aneh, tapi Arum justru dibingungkan kembali saat si pengirim surat mengetahui jam-jam tidur keluarga nya. Seperti Bagja yang akan tidur ketika jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari, dan Lasmi yang akan tidur tepat pukul sepuluh serta Arum yang akan tidur jika matanya sudah terasa mengantuk.
Siapa pengirim surat ini sebenarnya?
***
Sesuai dengan ucapan Santoso, Mahajana hari ini pergi dengan Aryo. Mereka sudah memarkirkan mobil di sekitar toko Bu Surti. Mahajana berjalan di depan dan diikuti Aryo di belakangnya.
"Toko yang kau maksud itu sebenarnya menjual apa sih?" Tanya Aryo.
"Barang-barang bekas."
Aryo mengangguk lalu lebih cepat berjalan agar tidak tertinggal oleh Mahajana. Saat keduanya sudah sampai di depan toko, mereka di kejutkan dengan keadaan toko yang sudah tertutup dan banyak sekali tanaman rambat pada temboknya. Aryo merinding melihatnya, dan Mahajana bingung. Dia mengambil kertas berisi alamat yang pernah Bu Surti berikan padanya dari dalam saku celana.
"Benar disini kok alamatnya." Mahajana membaca kertas tersebut lalu melihat sebuah nomer toko yang tertempel di dinding yang usang tersebut.
"Ini tokonya?" Tanya Aryo sambil memandang sekeliling. Rasa takutnya semakin besar ketika melihat seekor Anjing Doberman sedang menggonggong keras kearah dirinya dan Mahajana.
"Mahajana, sepertinya kemarin itu kau mengantuk berat. Toko ini sudah tutup lama, kau tidak lihat? Rumput, lumut dimana-mana. Sudah, ayo kita pergi dari sini." Aryo menarik lengan baju Mahajana. Namun lelaki itu justru masih tetap berdiri sambil memandangi toko Bu Surti tersebut.
"Aku tidak salah lihat, Yo."
"Sudahlah, kita pergi dari sini. Kau tidak lihat Anjing penunggu gang sudah mengusir kita? CEPATLAH."
Mau tidak mau, Mahajana terpaksa kembali ke dalam mobil dengan keadaan bingung. Ia ingat betul bahwa toko tua yang pintunya sudah tertutup rapat dan nampak menyeramkan ini adalah toko milik Bu Surti. Di dalamnya, ada banyak barang bekas yang masih lumayan. Tapi, kenapa sekarang bangunan ini menjadi seperti sarang hantu??
_________________________________________
Nah lho, jadi sebenarnya toko Bu Surti itu nyata atau tidak?? Atau jangan-jangan waktu Mahajana dan Arum ke toko Bu Surti, sebenarnya mereka sudah masuk gerbang ghaib??
You can follow my ig :
@rbiellaa.e
@rahmabiella.world*Update kali ini sedikit dulu hehe💗
KAMU SEDANG MEMBACA
ROMANTIKA MAHAJANA [ON GOING]
RomanceBagi Mahajana, Arum adalah salah satu mimpi yang harus ia wujudkan. Arum, dan Arum. Tetap dan selalu Arum. "Arum, panjang umur selalu. Sebab salah satu mimpiku ada pada dirimu." Dan bagi Arum, Mahajana adalah salah satu alasannya untuk tetap hidup...