୨୧⋆TERATAI DI TAMAN HATI. ༶

7 2 3
                                    

"Kenapa kau melakukan itu?"

"Rum, aku membela Aryo. Kau tahu kan, tidak sepantasnya orang tua seperti pak Raharjo mengatakan hal-hal seperti itu kepada Aryo hanya karena beliau tidak merestui hubungan Aryo dengan Sumarsih. Kan bisa dibicarakan baik-baik."

"Ya tapi tidak begitu seharusnya."

Pagi yang agak mendung ini, Arum berada di rumah Mahajana. Sesuai dengan janji kemarin malam, bahwa Mahajana akan menjelaskan kepada Arum mengapa dirinya menghajar Raharjo yang notabenenya adalah orang tua. Semalam, saat mereka pulang, baik Mahajana maupun Arum saling diam dan hanya suara motor Mahajana memecah keheningan malam. Mahajana paham sekali, mengapa wajah Arum begitu tidak mengenakkan saat kemarin malam.

Semalam, setelah selesai mengantar Arum pulang, Mahajana membuat seisi rumah kaget karena keadaan wajahnya yang terdapat memar-memar. Terutama hidung dan pelipisnya. Setelah Mahajana menjelaskan apa yang terjadi, tentu saja Bayu dan Ratna terkejut bukan main. Selama semalaman, Mahajana menjadi sasaran ceramah Bayu. Mahajana tidak bisa menghindar, sebab ini juga kesalahan dia yang terlalu cepat tersulut emosi.

"Kau juga harus bisa mengendalikan amarahmu. Semua orang terkejut ketika melihatmu memukul ayah Sumarsih." Ucap Arum sambil meneteskan cairan obat merah ke atas kapas lalu ia tempelkan secara perlahan ke pelipis Mahajana yang belum sepenuhnya sembuh itu.

Mahajana menarik tangan Arum yang semula sedang mengobati pelipis nya. Ia menggenggam erat tangan Arum lalu mencium nya. Tentu saja, Arum terkejut. Pipinya memerah dan rasanya ia ingin menjerit sekeras-kerasnya.

"Ngomong-ngomong, aku ingin menunjukkan sesuatu padamu Rum."

"Apa?"

Mahajana menyuruh Arum untuk menunggu sebentar sebab ia harus masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil 'sesuatu' yang dimaksud. Tidak sampai empat menit, Mahajana kembali duduk di samping Arum lagi. Ia membawa sebuah buku bersampul coklat yang kemudian ia serahkan buku tersebut kepada Arum.

Mahajana menyuruh Arum untuk membuka buku itu dihalaman paling belakang. Saat Arum membukanya, ada sebuah puisi yang Mahajana tulis menggunakan bolpoint bertinta biru. Di akhir puisi itu juga terdapat tanda tangan Mahajana dan sebuah tulisan.

Untuk Arum, cintaku setelah bunda. Semalam purnama menuturkan kekesalannya padaku, sebab rona wajahmu dan terang binar matamu mampu mengalahkan gemerlap angkasa.

Tersipu-sipu Arum. Ia mencoba membaca puisi Mahajana dari awal. Sebab ia yakin bahwa puisi kekasihnya itu tidak pernah gagal dan selalu membuat dirinya terhanyut dalam gelombang yang bernama cinta.

Aku tidak lupa kala jumpa pertama denganmu.
Saat senyumanmu menyapa pagiku.
Aku bertanya dalam jiwaku, "siapa perempuan yang mewarisi kecantikan Dewi kahyangan itu?"
Kau, berhasil mengusik lelap tidurku.
Wajahmu, menyapa lamunanku.
Senyumanmu adalah purnama di gelapnya malam ku, benderang, dan menawan.
Gadisku,
Kau adalah Teratai di taman hati.

Tak kuasa Arum menahan senyum. Ia menutup wajahnya menggunakan buku milik Mahajana. Entahlah, yang ia rasakan seperti ada kupu-kupu yang berterbangan dari jantungnya hingga ke perut.  Arum kemudian menyandarkan kepalanya di pundak Mahajana sementara tangan Mahajana menggenggam jemari Arum.

"Kau suka dengan tulisanku?" Tanya Mahajana.

"Suka."

"Oh ya? Benarkah?" Tanya Mahajana lagi memastikan.

"Iya, aku suka. Suka sekali."

"Kalau aku, kau suka tidak?" Mahajana mencoba menggoda Arum.

Pipi Arum memerah. Benar-benar malu sekali. Ia menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan, sebab akan bertambah malu lagi jika Mahajana melihat pipi kekasihnya tersebut menjadi merah merekah seperti tomat segar.

"Oh iya Rum, aku terpikirkan sesuatu."

Arum penasaran. "Apa itu?"

"Bagaimana jika sekiranya kau dan aku menikah?"

Pertanyaan Mahajana yang tiba-tiba terucap tanpa ada nya hujan, badai, angin dan petir itu membuat Arum terkejut. Sementara Mahajana sebisa mungkin menahan perasaan salah tingkahnya. Dia yang bilang, dia sendiri yang salah tingkah.

"Kok tidak menjawab Rum? Apakah kau merasa keberatan?" Mahajana memasang raut wajah sedih. Betapa pilu hatinya bila Arum tidak mau dilamar olehnya. Lagipula apa kurangnya Mahajana? Tampan? Jelas. Baik hati, tidak sombong, gagah perkasa? Tentu saja. Urusan dompet? Mahajana juga lumayan berdompet tebal. Pemberani? Jangan salah, Mahajana sudah berkali-kali meminta izin kepada orang tua Arum jika ingin mengajak kekasihnya itu berpergian. Setia? Jangan diragukan. Lalu, kurang apa sih Mahajana ini???

"Kau, kenapa?" Tanya Arum bingung. Ia menempelkan telapak tangan nya pada kening Mahajana. Aman. Tidak panas juga tak terlalu dingin. Alias normal.

"Aku? Aku tidak apa-apa."

Arum menangkup kedua pipi Mahajana. Lalu menatap nya lekat dan...sedikit menyelidik.

"Semalam tidak makan yang aneh-aneh kan?"

Mahajana menggeleng.

"Kau tidak sedang mabuk?"

Mahajana menggeleng sambil berusaha melepaskan pelan tangan Arum yang sedang menangkup pipinya. "Kau ini kenapa? Kok tanya-tanya begitu? Apakah aku salah?"

Arum menggeleng. "Tidak, tapi...aku kaget, tiba-tiba kau menanyakan hal itu padaku."

"Kenapa memangnya? Kau tidak mau menikah denganku?"

"Bukan." Jawab Arum cepat. "Aku cuma kaget. Maksudku...kenapa kau bisa berfikiran seperti itu? Aku belum siap menjadi istrimu."

"Aku juga belum siap menikah Rum, kalau kau mau tahu. Tapi, aku sudah memiliki sebuah pemikiran untuk masa depan. Nanti, aku akan menikahi mu lalu kita tinggal di sebuah rumah yang halaman depan dan belakangnya luas. Setiap hari aku akan memakan masakanmu, menghabiskan waktu ditemani dengan anak-anak kita. Lucu sekali kan?"

Ucapan Mahajana mampu membuat Arum tersenyum lebar. Mahajana memang lelaki yang begitu romantis dan memang penuh rencana. Tapi, untuk rencana 'menikahi Arum', jujur, gadis itu tidak mengetahui. Bahkan, ia juga tidak menyangka bahwa Mahajana sudah memiliki pemikiran yang begitu jauh.

"Tapi, aku punya syarat jika nanti kita berdua sudah menikah." Ucap Arum.

"Apa? Katakan saja."

"Tidak sulit. Aku cuma mau, kau bisa menghargai apapun usahaku nantinya. Mungkin, saat nanti kita berdua sudah menikah, masakanmu belum terlalu sedap di lidahmu. Atau mungkin apapun yang aku kerjakan, belum sempurna untukmu. Untuk itu, aku mohon, hargai usahaku. Sekecil apapun."

Mahajana mengelus kepala Arum lalu membawa gadis itu ke dalam dekapannya. Aroma parfum milik Mahajana menyeruak masuk ke dalam indera penciuman Arum. Wangi yang kelak akan Arum rindukan.

"Arum, manusia lahir dengan ketidaksempurnaan yang selalu mengiringi mereka. Kau dan aku tidak sempurna Rum, pasti. Itulah gunanya saling melengkapi. Jangan pernah merasa kurang ya, kita buat semua nya menjadi lengkap meskipun kita adalah manusia yang dipenuh banyak kekurangan. Promise?."

"You too, Mahajana."

______________________________________


You can follow my ig :
@rbiellaa.e
@rahmabiella.world

ROMANTIKA MAHAJANA [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang