"Kalau tas nya masih kurang, beritahu bude ya. Nanti akan bude belikan untukmu."
"Ah, bude. Aku jadi merepotkan. Ini sudah cukup buatku."
"Loh, tidak apa-apa. Merepotkan darimana nya? Dari kecil, bude juga ikut mengurusmu, jadi kalau kau mau apa-apa minta ke bude, ya pasti bude berikan."
Arum tersenyum canggung. Laras memang begitu baik, melebihi baiknya Lasmi. Kadang, Arum jadi merasa tidak enak , sebab Laras suka sekali membelikan beberapa pakaian, sandal, sepatu, bahkan semasa Arum masih Sekolah Dasar dulu, Laras yang selalu membelikannya beberapa seragam, kotak pensil berserta dengan pensil-pensilnya. Lasmi yang akan membelikan buku tulis juga kaos kaki. Tetapi yang lebih dekat dengan Laras ialah Bagja, alias si lelaki super jail. Bukan karena tidak betah dengan Lasmi atau Bahrin, melainkan ia sedikit merasa tersaingi oleh Hendra. Iya, lagi-lagi Hendra. Bagja dengan pemikiran nya yang belum dewasa kala itu memang sering menganggap Hendra sebagai perebut kasih sayang ibu dan bapak. Lantaran apapun yang Hendra mau, pasti selalu ibu bapak turuti. Tetapi jika Bagja yang meminta, pasti beda lagi ceritanya.
"Bude," panggil Arum.
Laras menoleh. "Iya Rum? Kenapa?"
"Apakah ibu dan bapak cuma sayang dengan mas Hendra saja?"
Laras menggeleng. "Loh loh, tidak dong. Kata siapa? Ibu bapakmu sayang dengan ketiga anaknya kok. Kenapa kau tanya begitu?"
"Aku cuma bertanya, bude. Sebab dari dulu, mas Hendra selalu diutamakan. Sampai sekarang mas Hendra hilang pun, ibu tetap menganggap istimewa mas Hendra. Buktinya, kamar mas Hendra tidak boleh ditempati siapapun. Sprei nya selalu diganti seminggu sekali. Padahal mas Hendra sudah tidak ada disitu."
Laras menghela nafas. Arum dan Bagja memang belum mengetahui alasan mengapa Hendra begitu diistimewakan oleh Lasmi dan Bahrin. Lagipula, itu hanyalah perasaan mereka. Sebab nyatanya, kasih sayang Lasmi dan Bahrin selalu merata untuk ketiga anak-anaknya.
"Jika masa nya telah tiba, kau pasti akan mengerti. Jangan terlalu di pikirkan berlebihan ya. Sekarang tugasmu cuma dua."
Arum mengernyitkan dahi. "Apa itu?"
"Pertama, menjaga ibu mu."
"Lalu kedua?"
"Menjemur pakaian."
Arum tertawa, diikuti dengan Laras yang ikut terbahak.
***
Jalan pulang yang Mahajana ambil memang agak lebih jauh daripada jalan yang ia lalui saat berangkat menuju rumah penjahit langganan Ratna. Sengaja, sebab ia ingin melewati rumah Arum. Lelaki itu berharap bahwa Arum sedang duduk di teras rumah sambil menjahit atau menyapu halaman agar bisa ia sapa lalu bertemu sejenak. Sungguh, ia rindu.
Entah apa alasannya, tiba-tiba saja hati Mahajana begitu merindukan Arum.
Langkah Mahajana terhenti tepat di dekat sebuah pohon. Ia mengamati rumah Arum yang sudah terbuka pintunya. Ingin sekali rasanya mampir sebentar kesana dan bertemu Arum meskipun hanya sebentar.
Mata Mahajana berbinar saat melihat seorang perempuan keluar dari dalam rumah. Arum, berjalan kearah halaman sambil membawa keranjang berisi pakaian-pakaian yang akan dijemur.
Diam-diam, Mahajana tersenyum. Hati nya sedikit tenang ketika melihat raut wajah Arum sudah tidak sendu. Wajah kekasihnya kembali berseri dan tentu saja Arum semakin cantik meskipun rambutnya sedikit beraturan dan tergerai.
"Hayo, pasti lagi liatin mba Arum ya kang?"
Mahajana terkejut ketika ada seseorang yang menepuk punggungnya. Dia melihat kebelakang, dan mendapati remaja berusia lima belas tahun sedang tertawa jail kearahnya.
"Aldo? Aish, kau bikin kaget orang saja."
Iya, itu adalah Aldo. Ia sedang menuntun sepedanya. Anak semata wayang bi Asti itu juga membawa beberapa kantong plastik di keranjang sepeda nya. Ini sudah menjadi rutinitas Aldo setelah pulang sekolah, ia akan membantu ibu nya mengantarkan beberapa pesanan kerumah warga dengan menaiki sepeda kramat kesayangannya. Dengan pakaian andalannya, berupa sebuah baju putih polos, peci hitam dan sebuah sarung berwarna merah yang ia gantungkan di pundaknya seperti seorang bapak-bapak yang akan ronda.
"Kenapa gak di samperin mba Arum nya? Kang Mahajana lagi ribut ya sama mba Arum?" Tanya Aldo. Mahajana menggeleng. "Tidak, aku cuma mau melihat Arum dari sini saja. Aku tidak mau menganggu dia, dia kelihatan sedang sibuk.
"Ooh, begitu." Aldo mengangguk-angguk. Lelaki itu kemudian berpamitan kepada Mahajana dan mengatakan bahwa dia ingin mengantarkan telur asin kerumah Arum. Mahajana menarik pelan bahu Aldo lalu membisikkan sesuatu ke telinga anak semata wayang bi Asti tersebut.
Aldo mengacungkan ibu jarinya pertanda bahwa ia mengerti dengan apa yang disampaikan Mahajana.
"Siap kang. Sudah, itu saja yang mau disampaikan? Tidak ada tambahan?"
Mahajana menggeleng. "Cukup, kurasa."
***
Sebenarnya, menjemur pakaian adalah tugas Bagja. Namun, manusia paling jail itu sudah pergi sejak sehabis Shubuh sambil menaiki motor peninggalan Bahrin. Pakaian nya rapih dan tubuhnya semerbak harum. Ia masih harus mencari lowongan pekerjaan, sebab usahanya di hari-hari lalu belum juga membuahkan hasil. Jadi, mau tidak mau, beberapa tugas yang harusnya Bagja kerjakan, diambil alih oleh Arum. Lagipula, kalau cuma menjemur pakaian, itu adalah hal yang begitu mudah. Semua orang bisa menjemur pakaian. Beda judul, kalau Arum harus membenarkan antena atau memperbaiki atap. Nah, kalau itu Arum menyerah.
"MBAK ARUM. PESANAN DATAAAAAANG!"
Arum mencari-cari sumber suara. Rupanya Aldo datang. Sepertinya, pesanan milik Laras sudah selesai. Arum meninggalkan pekerjaan nya sejenak dan mendekat kearah Aldo yang sedang memarkirkan sepeda tua nya.
"Cepat sekali, sudah jadi." Ucap Arum sambil mengambil kantong plastik dari tangan Aldo. "Sudah dibayar?" Tanya Arum, Aldo menggeleng. "Belum mbak, belum dibayar."
"Ya sudah, nanti sehabis dhuhur, kau kesini lagi ya, ambil uang."
"Oh iya mbak, ada salam. Salam sejuta rindu katanya."
Arum keheranan. "Salam? Dari siapa?"
"Dari siapa lagi, kalau bukan dari kang Mahajana."
"Kau bertemu dia?"
Aldo menceritakan bagaimana bisa dirinya bertemu dengan Mahajana yang sedari tadi sebenarnya sudah mengamati Arum dari dekat pohon. Mata Arum mengamati sekeliling, siapa tahu Mahajana masih ada di sekitar sini. Namun nyatanya, tidak ada tanda keberadaan Mahajana
"Tadi memang ada kang Mahajana, cuma sekarang dia pasti sudah pulang."
Arum menghela nafas. Ia nampak kelihatan lesu. Kenapa Mahajana tidak mampir? Padahal, ia berharap lelaki itu datang lalu menanyakan kabarnya yang memang belum terlalu baik pasca kematian Bahrin. Tapi sungguh, ia ingin bertemu dengan Mahajana. Arum melihat ke sekelilingnya lagi, ia mencoba mencari Mahajana dengan matanya yang menyapu ke segala penjuru, berharap Mahajana sedang bersembunyi di suatu tempat. Entah dibalik pohon atau mengejutkan nya dari belakang.
Tetapi tidak ada.
"Sudah ya mba, aku harus antar pesanan yang lain."
"Eh? I-iya, iya. Terima kasih ya."
Begitu Aldo sudah mulai menjauh, mata Arum kembali melihat ke sekitar. Siapa tahu saja, Mahajana sedang bersembunyi di balik pohon. Tidak biasanya Mahajana menyampaikan salam rindu lewat perantara. Jika tidak lewat telepon, biasanya dia akan datang ke rumah Arum.
"Mahajana, kau dimana?"
______________________________________
You can follow my ig :
@rbiellaa.e
@rahmabiella.world
KAMU SEDANG MEMBACA
ROMANTIKA MAHAJANA [ON GOING]
RomanceBagi Mahajana, Arum adalah salah satu mimpi yang harus ia wujudkan. Arum, dan Arum. Tetap dan selalu Arum. "Arum, panjang umur selalu. Sebab salah satu mimpiku ada pada dirimu." Dan bagi Arum, Mahajana adalah salah satu alasannya untuk tetap hidup...