"Kadang, kita harus berani keluar dari sebuah kenyamanan demi sebuah masa depan. Walaupun nantinya kita akan mengalami banyak kesusahan, tapi ya begitulah hidup. Penuh kejutan dan pengorbanan. Kau harus merelakan masa mudamu habis untuk cita-citamu, daripada masa tuamu dikelilingi penyesalan tak berbatas"
-Santoso Adicipto.
__________________________________________
Pukul delapan pagi, Aryo, Mahajana dan juga Santoso sudah duduk santai di warung Bi Asti. Warung langganan mereka bertiga. Bi Asti adalah istri mang Koko. Ingat mang Koko? Tukang bengkel langganan Mahajana ketika si Samson mendadak ngambek tanpa sebab. Acara nongkrong sepagi ini memang tidak terencana sebelumnya, sebelumnya, Aryo berniat untuk menjenguk motor kesayangannya yang sudah dua hari nginep di bengkel mang Koko dan katanya hari ini memang sudah bisa dibawa pulang. Tetapi, rasanya kurang mantap jika ke bengkel mang Koko tapi tidak mampir ke warung bi Asti.
Bi Asti sendiri sudah mulai membuka warungnya setelah orang-orang selesai menunaikan sholat shubuh. Dibantu dengan anaknya, Aldo, dia mulai menggantung beberapa makanan ringan, kopi, menyimpan mie, sabun colek, sabun mandi, rokok, obat-obatan di etalase. Biasanya, mulai dari jam enam, banyak sekali ibu-ibu yang berbelanja sambil sharing-sharing gosip tentunya.
"Kalian mau pesan mie goreng tidak?" Aryo setengah berteriak saat sedang menawarkan mie goreng kepada Santoso dan Mahajana.
Santoso yang begitu menyukai mie, langsung mengangguk sambil mengacungkan jempolnya kemudian ia menoleh kearah Mahajana sambil bertanya, "Pesan mie atau tidak kau?" Mahajana menggeleng. "Gorengan saja. Jangan lupa teh manis hangat, sehangat pelukan bunda."
"Pagi-pagi sudah makan gorengan." Ucap Santoso tertawa. Aryo juga ikut terkekeh. Kali ini, Aryo yang membuatkan mie untuk Santoso dan juga dirinya. Memang begitu, Aryo sudah sangat dekat dengan bi Asti, sampai-sampai dia juga kadang ikut membantu di warung.
Cuaca sedikit mendung kali ini. Awan-awan hitam menghiasi langit. Memang, akhir-akhir ini, terkadang Cirebon diguyur hujan. Kadang pagi, siang, sore, malam kadang pula dini hari. Beberapa dari ibu-ibu akan mengeluh, sebab jemuran nya tidak kunjung kering, namun untuk anak-anak, ini adalah kesempatan yang sangat bagus untuk mereka sebab mereka bisa bermain hujan. Walaupun resikonya adalah : kena amuk mamah.
"Lhoooo, sudah ada yang duduk duduk santai ternyata."
Santoso dan Mahajana kompak menoleh kearah sang pemilik suara. Perempuan paruh baya sedang berjalan kearah mereka sambil membawa sebuah kantong plastik berwarna putih. Itu adalah bi Asti. Si pemilik warung. Wajahnya begitu segar sebab dia sering tersenyum. Dia begitu humoris, suka anak-anak, penyayang, baik dan suka buah Salak.
"Habis darimana bi?" Tanya Mahajana. Ia kemudian memperhatikan kantong kresek yang dibawa oleh bi Asti. "Itu apa bi? Bibi habis belanja?"
"Oh bukan. Bibi habis ambil jahitan di rumah Bu Inne." Jawab perempuan itu. Mahajana mengangguk-angguk paham.
Sementara di dalam warung, Aryo belum mengetahui kedatangan bi Asti. Lelaki itu sedari tadi masih fokus membuatkan mie, menyiapkan gorengan, dan juga menyeduh teh. Lagaknya sudah seperti seorang koki.
"Ini anak satu juga, sudah rajin sekali. Pagi-pagi sudah membuatkan mie dan teh."
Aryo terkejut. "Bibi? Aryo kira bibi lagi di dalam."
KAMU SEDANG MEMBACA
ROMANTIKA MAHAJANA [ON GOING]
RomansaBagi Mahajana, Arum adalah salah satu mimpi yang harus ia wujudkan. Arum, dan Arum. Tetap dan selalu Arum. "Arum, panjang umur selalu. Sebab salah satu mimpiku ada pada dirimu." Dan bagi Arum, Mahajana adalah salah satu alasannya untuk tetap hidup...