Setelah hujan yang mengguyur pagi, sore ini, cuaca cukup bersahabat. Sehingga, bisa kau saksikan mentari yang bersiap pamit diantar oleh langit jingga menguning yang cantik sekali jika dilihat-lihat. Pada sore yang cantik ini pula, tiga orang lelaki sedang duduk di beranda rumah sambil menikmati secangkir kopi lengkap dengan obrolan santai mereka. Seperti sudah berabad-abad tak berjumpa, tiga orang itu nampak asyik sekali bertukar cerita tentang seru nya hidup menjadi lelaki dewasa.
Mereka adalah Mahajana, Santoso dan kawan Mahajana sejak kecil, Aryo. Ketiga nya berada dirumah Mahajana, lebih tepatnya di beranda rumah lelaki yang gemar sekali berpuisi itu.
"Ah, awet sekali kau dengan Arum itu ya. Jadi ingat pula aku, dulu kau suka sekali memutari sekolahan hanya untuk mencari Arum. Sudah macam hansip keliling kampung." Santoso, lelaki yang menjadi kawan sebangku Mahajana selama tiga tahun itu tidak menyangka bahwa hubungan Mahajana dengan Arum bertahan cukup lama. Sebab yang ia tahu, Mahajana begitu kaku dan sulit sekali berbicara dengan perempuan. Tetapi, kita mendengar langsung penuturan dari lelaki itu, betapa terkejutnya Santoso. Apalagi ketika Mahajana mengatakan bahwa dia akan meminang Arum menjadi istrinya.
"Jangan terburu-buru menikah. Kerja saja dulu, bahagiakan masa muda mu barulah boleh kau menikah, punya anak dan bangunlah rumah tangga yang kau mau. Begitu." Aryo menyahut. Ia meneguk kopi nya hingga menjadi setengah gelas. Mendengar Mahajana yang sudah mempunyai sebuah planning untuk menikahi Arum, membuatnya jadi teringat kepada seorang gadis yang pernah ia jumpai saat sedang berada di Surabaya. Wajahnya begitu manis, dan lembut perangai nya. Namun, sayang sekali gadis manis itu sudah lebih dahulu dipersunting oleh seorang anak pemilik pabrik tekstil. Nasib yang baik tidak berpihak kepada Aryo.
Sementara Santoso, ia kembali menjadi bujangan setelah memutuskan mengakhiri hubungan dengan seorang perempuan yang dahulu merupakan kawan satu SMA nya, mereka hanya berbeda kelas. Maka dari itu, lelaki berbadan agak kekar ini memilih untuk menjalani hidupnya di dalam sebuah kesendirian, tanpa pasangan dan jauh dari orang tua nya.
"Kau sudah dapat pekerjaan?" Tanya Santoso kepada Mahajana. Mahajana menggeleng.
"Mau kau ikut aku bekerja?" Santoso menawari kawan karibnya. Mahajana nampak berfikir, kemudian ia menghela nafas. "Kerja dimana? Keluar dari wilayah Cirebon?"
Santoso mengangguk. "Aku ini, ingin cari kerja lain. Kau tahu, sepertinya aku perlu keluar dari kota ini untuk membenahi diri."
Omongan Santoso sepertinya ada benarnya. Batin Mahajana. Kerja di kota sendiri memang terkadang, tidak bisa menjamin apapun. Kita perlu keluar dari zona nyaman demi sebuah masa depan dan kita juga harus siap mengorbankan sesuatu yang tidak akan pernah kita duga duga. Santoso dan Aryo adalah contoh nyata dari beberapa manusia yang tetap diam di zona nyaman namun pada akhirnya harus keluar juga demi mencari sesuatu yang dibutuhkan. Mahajana sendiri sebelumnya pernah bekerja kurang lebih selama empat bulan di sebuah pabrik sepatu. Tetapi karena sebuah alasan tertentu, pemilik pabrik itu terpaksa harus menutup usaha yang ia miliki. Gundah hati Mahajana saat itu. Kesana kemari ia mencari pekerjaan, semua ditolak. Tetapi, saat mendengar tawaran dari Santoso, ada yang membuat jiwa jiwa seorang pekerjanya meronta-ronta.
"Kapan rencana nya kau akan pergi Tos?"
Santoso menggeleng. "Entah, tahun depan mungkin."
Aryo menepuk pundak Mahajana. "Masih banyak waktu untuk menimbang dan bersiap. Pikirkan itu nanti matang-matang."
***"Lalu, bagaimana nasib ibu dan bapak? Kau tega meninggalkan mereka berdua?"
"Tapi, aku pergi juga untuk mencari mas Hendra."
KAMU SEDANG MEMBACA
ROMANTIKA MAHAJANA [ON GOING]
Roman d'amourBagi Mahajana, Arum adalah salah satu mimpi yang harus ia wujudkan. Arum, dan Arum. Tetap dan selalu Arum. "Arum, panjang umur selalu. Sebab salah satu mimpiku ada pada dirimu." Dan bagi Arum, Mahajana adalah salah satu alasannya untuk tetap hidup...