Arum membuka matanya perlahan. Pemandangan di dalam markas langsung menyambutnya. Disampingnya, sudah ada Lisa duduk sambil memijat lengan Arum yang agak sedikit lebam.
"Yu, sudah bangun?" Tanya Lisa sambil berusaha tersenyum. Arum memegangi kepalanya yang sakit bukan main. Ia mengarahkan pandangan nya ke sekeliling. Okto dan Kicong sedang duduk diluar sambil menatap lurus kedepan dengan tatapan yang begitu kosong.
"Yu, ini minum dulu." Ucap Lisa sambil menyodorkan segelas air putih kepada Arum. Arum menggeleng, matanya mencari-cari sesuatu.
"Lisa, Mahajana dimana? Dia masih hidup kan?."
Lisa terdiam. Ia menggenggam tangan Arum. "Yu, istirahat lagi saja ya."
"Dimana Mahajana?"
Lisa menahan isakan nya. Gadis itu menyerahkan sesuatu kepada Arum. Sebuah saputangan coklat dengan motif batik yang sudah dipenuhi dengan bercak darah. Arum menerima saputangan itu dengan tatapan yang begitu berkaca-kaca.
Di peluknya saputangan itu dengan erat. Noda darah dari saputangan itu mengotori kemeja yang Arum gunakan, namun ia tidak peduli. Tangis Arum pecah bersama dengan hujan yang turun membasahi bumi. Derasnya hujan mewakili air mata seorang Arumi yang kehilangan kekasihnya. Kini, ada sesuatu yang menghujam dada nya begitu keras sama seperti hari dimana ia kehilangan ayahnya. Arum memikul dua duka sekarang.
"Jangan takut, aku ada disini."
Ucapan terakhir Mahajana di dekat kios pakaian itu kini hanya menjadi ucapan menenangkan sementara. Karena pada akhirnya, Mahajana pergi dan Arum harus kehilangan seseorang lagi di dalam hidupnya. Arum merasa bahwa dunia sudah menyiapkan kejutan untuknya sejak jauh-jauh hari. Namun, bukan kejutan yang menyenangkan untuk Arum, melainkan kejutan yang membawa nelangsa.
Arum mencoba untuk berdiri. Dia ingin duduk diluar sambil memandangi hujan deras yang mewakili hati nya. Lisa awalnya melarang, namun karena Arum memohon berulang kali, akhirnya hati kecil Lisa luluh juga.
Diluar, ia melihat Okto dan kawan kawan lainnya sedang sama nelangsa nya dengan dia. Bedanya, mereka tidak menangis, namun pandangan mata nya seolah-oleh mewakilkan apa yang terjadi di dalam hati mereka.
Arum duduk di bangku yang ada di luar markas. Agak jauh jaraknya dengan Okto dan kawan-kawan. Ia mencengkram sapu tangan milik Mahajana dengan sangat keras lalu memeluknya. Hatinya sakit.
"Jika saja aku tahu hari ini adalah hari terakhirmu di bumi, aku akan datang kerumah mu lalu memelukmu erat. Sehingga saat nanti malaikat mengambil nyawamu, kau ada di dalam dekapanku." Ucap Arum pelan. Sapu tangan itu kemudian ia pandangi begitu dalam.
"Kau cantik Rum, tiada tanding, tiada banding."
"Akan aku wujudkan itu, akan aku wujudkan mimpi-mimpi kecil kita. Hidup menua dan bahagia selamanya tanpa ada angkara murka."
"Arum, kau cantik."
"Sayang, aku menemukan bulan pada kerling matamu."
"Rum, hiduplah yang lama. Sebab aku ingin menua bersamamu. Aku ingin kita berdua menikmati tahun-tahun yang akan datang dengan penuh sukacita sambil duduk di depan beranda rumah. Ditemani dengan anak-anak kita nanti nya, malam dingin, jingga yang cantik dan hangat mentari. Untuk itu, hiduplah yang lama Rum."
Ucapan-ucapan Mahajana terngiang di pikiran Arum. Gadis itu mendongakkan kepalanya, melihat langit gelap dan hujan yang terjun bebas dari atas sana.
"Lalu bagaimana dengan mimpi-mimpi yang ingin kau wujudkan bersama ku? Ingin di kemana kan mimpi-mimpi itu? Ingin kau kubur bersama dengan tubuhmu? Bagaimana dengan aku yang sudah menanggung duka ini, Mahajana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ROMANTIKA MAHAJANA [ON GOING]
عاطفيةBagi Mahajana, Arum adalah salah satu mimpi yang harus ia wujudkan. Arum, dan Arum. Tetap dan selalu Arum. "Arum, panjang umur selalu. Sebab salah satu mimpiku ada pada dirimu." ©Rahmaayusalsabilla Publish, 08 Januari 2024.