Sudah hampir tiga jam Arum duduk sambil membuka halaman demi halaman sebuah majalah bekas yang ada di gudang. Jika di total, sudah ada delapan jenis majalah bekas yang Arum baca.Gadis itu menjadikan koran sebagai tempat duduknya lalu beberapa majalah yang sudah ia baca diletakan di sampingnya.
"Rum,"
Arum mendongakkan kepala. Ia mendapati Lasmi sedang berdiri diambang pintu gudang sambil memperhatikan dirinya. Perempuan paruh baya itu melihat kearah tumpukan majalah yang sebenarnya sudah ia rapihkan sejak bulan-bulan lalu. Majalah ini sudah cukup lama, dan Lasmi yakin tidak akan ada yang mau membaca nya lagi. Lihat saja sampulnya, sudah kusut, sobek dan berdebu.
"Kau sedang apa? Kok majalahnya di keluarkan semua?" Tanya Lasmi. Ia kemudian ikut duduk di samping Arum.
"Bukan begitu Bu. Tadi aku sebenarnya ingin mengambil satu majalah saja untuk aku baca. Tapi, aku melihat ada sesuatu yang menarik diantara majalah-majalah ini." Jawab Arum.
"Menarik? Aih, ini kan majalah lama, beritanya juga sudah kadaluwarsa sekali. Apa yang menarik?"
Arum mengambil satu majalah. Ia kemudian menunjuk sampul majalah tersebut. Di sampul majalahnya terdapat sebuah foto hitam putih perempuan berkebaya, lengkap dengan sanggul dan aksesoris yang menawan. Dibawah foto itu, ada sebuah tulisan.
Surtiani Wirajaya: "Saya bukan ningrat."
"Lihat ini Bu."
Lasmi membaca judul majalah tersebut. "Iya, lalu? Ada apa dengan majalah itu?"
Arum kemudian membuka sebuah halaman yang sudah ia lipat sedikit sebagai penanda. Di halaman itu ada foto perempuan dengan kebaya yang sama seperti di sampul depan. Perempuan itu duduk di sebuah kursi dan nampak memegang sebuah tas yang cukup branded pada masanya.
Mencoba keluar dari kehidupan Keraton, Surtiani Wirajaya: "Mulai sekarang, saya sama seperti kalian. Saya bukan ningrat. Jangan panggil saya Raden Ayu, atau Ndoro!"
Begitu kira-kira tulisan yang ada di halaman tersebut.
"Bu, ini Bu Surti yang punya toko barang-barang bekas itu kan?" Tanya Arum memastikan. Lasmi bingung.
"Toko barang bekas apa maksudmu? Surtiani Wirajaya itu dulunya penyanyi. Sembarang kalau bicara." Tangan Lasmi mengambil majalah itu dari Arum. Dengan seksama ia membaca tulisan-tulisan yang ada di halaman tersebut.
"Bu, tadi pagi aku dan Mahajana mampir ke toko milik Bu Surti kok. Mahajana juga membeli radio di sana." Arum menjelaskan.
"Mungkin Surtiani yang lain. Kamu ini, mana mungkin ada mantan artis yang jual barang-barang bekas."
Arum mengernyitkan dahi. "Mantan artis?"
"Lho, iya. Surtiani Wirajaya itu dulunya mantan penyanyi tembang Jawa. Suaranya merdu sekali. Itu sangat mendukung dia untuk jadi penyanyi, ditambah dengan wajahnya yang begitu cantik. Dulu, banyak lelaki yang berusaha melamar Bu Surtiani, tetapi semua ditolak."
Arum terkejut dengan penjelasan ibunya. Kemana saja ia selama ini, kenapa ia baru mengetahui bahwa pemilik toko barang bekas tempat Mahajana membeli radio adalah seorang mantan artis. Kalau tahu begitu, Arum akan meminta tanda tangan yang banyak. Kapan lagi bertemu dengan seorang penyanyi tembang Jawa, iya kan?
"Waktu dulu, dia pernah berjaya. Semua koran, majalah dan radio pasti membicarakan dia. Pejabat bersaing memperebutkan Bu Surtiani, berharap dia mau dipinang menjadi seorang istri. Tapi semua lamaran itu di tolaknya dengan sopan. Sebab saat itu, usia Bu Surtiani masih sangat muda."
KAMU SEDANG MEMBACA
ROMANTIKA MAHAJANA [ON GOING]
RomansBagi Mahajana, Arum adalah salah satu mimpi yang harus ia wujudkan. Arum, dan Arum. Tetap dan selalu Arum. "Arum, panjang umur selalu. Sebab salah satu mimpiku ada pada dirimu." ©Rahmaayusalsabilla Publish, 08 Januari 2024.