29

13 0 0
                                    

Pagi ini ekpresi Kila benar-benar tak enak dilihat. Rasanya ekpresi Kila bagaikan awan hitam yang siap menyambar siapa saja yang berani mengganggunya. Kila mengikat tali sepatu dengan emosi. Beraninya adik-adiknya menghabiskan jajan miliknya. Benar-benar menyebalkan.

"Pulang jam berapa nanti?" Tanya Jono yang juga tengah bersiap untuk pergi ke kantor. Namun putrinya itu diam saja, mulutnya terkatup dan nafasnya memburu menandakan anak itu sedang emosi.

"Kilaa.... Heh, masih marah gara-gara Raden?" Tanya Jono duduk didamping putrinya.

"Gak!" Kila menjawab dengan ketus.

"Ga usah marah gitu dong, nih ayah kasih uang saku tambahan, beli jajan yang kaya kemarin" Jono memberikan dua lembar uang limapuluh ribuan kepada Kila.

"Ini" Jono menyodorkan uang tersebut saat Kila tidak menanggapinya.

"Gak mau! Ayah simpen aja uanganya" Kila berkaca-kaca. Lama-lama ia ingin menangis saja rasanya. Kila maunya langsung makan, tidak ingin harus membelinya terlebih dahulu.

Jono menghela nafas. Dia harus sabar menghadapi anak labil yang berstatus sebagai putrinya itu. Dengan paksa ia memasukkan uang tersebut ke saku Kila.

"Ya baiklah baiklah, Ayah tau apa maumu. Nanti ayah suruh Rahman buat beliin lagi" Jono akhirnya dapat membuat Kila berhenti kesal. Dan membuat anak itu ketakutan.

"Yak!!! Ayah jangan berani-berani nyuruh dia beliin lagi ya... Mau ditaruh mana mukaku nanti!" Kila memegang tangan ayahnya dan mengguncangnya agar Jono tak melakukan hal itu.

"Ya ditaruh ditempatnya lah" Jono terkekeh. Sepertinya ia benar, kalau mereka berdua memang saling suka tapi tidak ada yang mau mengungkapkan. Lihat seberapa gengsinya putrinya ketika Jono bilang akan menyuruh Rahman membeli jajan untuk Kila lagi?

"Ih Ayah mah... Jangan Yah... " Kila terus memohon kepada ayahnya.

"Sudah sana berangkat sekolah, nanti terlambat" Jono mengingatkan Putrinya agar tak terus memohon kepadanya.

"Tapi ayah jangan bilang ke Maman suruh beliin Jajan lagi" Kila masih memohon kepada Jono

"Iya. Udah sana berangkat" Jono menyodorkan tangannya dan Kila menyalami Jono lalu segera pergi ke sekolah.

Jono berkendara dengan santai. Lagipula jarak rumahnya ke kantor tidak begitu jauh. Hanya butuh waktu sepuluh menit saja. Ia tersenyum mengingat kelakukan anak-anaknya semalam. Bisa-bisanya Raden dan Hila malah bersemangat menghabiskan jajan milik kakaknya sedangkan kakaknya itu sedang marah. Sebuah kebahagiaan tersendiri untuk Jono, walaupun hanya hal kecil tapi itu sangat berarti untuk Jono.

Sesampainya di kantor, Jono absen dulu di lobi kantor. Setelah itu ia berjalan dengan santai menaiki tangga dan membalas sapaan karyawan yang menyapanya.

"Seneng banget kayaknya Jon, habis dapat jackpot apa?" Sapa Arif yang kebetulan berpapasan dengan Jono.

"Ngga juga, saya lanjut dulu" Jono meninggalkan Arif yang terheran-heran melihat Jono begitu sumringah.

"Jono! Bisa bantu saya ngangkat meja di lab? Adji belum berangkat soalnya" Pak Danu meminta tolong kepada Jono.

"Siap" Jono mengikuti Pak Danu menuju laboratorium. Di sana ia bertemu Rahman yang tengah membersihkan koridor depan laboratorium.

"Nah kebetulan ada Rahman, kalian berdua saja yang angkat mejanya ya... Saya takut encok, sadar diri lah udah tua" kata Pak Danu dengan kekehannya.

Jono dan Rahman pun segera melakukan tugasnya. Mereka bekerjasama memindahkan meja yang lumayan berat itu untuk dibawa ke laboratorium bawah.

Jalani Saja [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang