[35] When We Know We Are Hopeless

316 22 19
                                    

.
- When We Know We Are Hopeless-
.
-
Halooo! Are you ready?
Let's Go!
-

Hujan turun dengan lebat, disertai petir yang menyambar-nyambar. Angin berhembus kencang, membuat lampu gantung di selasar rumah kayu yang usang bergoyang. Lampu itu berkedip sesekali, mungkin karena terlalu usang juga. Sementara di dalam rumah itu terdengar suara perempuan merintih.

"Eughh...Eunggh. Et i o!"

"Pis-et-i-o!"

Suara berat langkah kaki mendekat, pintu dibuka dari luar, hingga riuh derasnya air hujan terdengar jelas begitu juga dengan angin yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah. Langkah itu mendekat, oh, tidak hanya satu tapi beberapa.

"Let me go!" desah Ada ketika tali penutup mulutnya dilepaskan. Disusul dengan penutup matanya. Mata Ada mencoba segera menyesuaikan kegelapan hingga ia tercekat.

"Sungguh, Stepahie. Berapa kali aku harus terkejut karenamu?" sambut Benjamin, Jenderal yang pernah menyewa jasa Ada Wong beberapa waktu lalu, sekaligus ayah dari Thomas.

"A-apa yang anda lakukan disini?! Le-lepaskan saya!" Ada berusaha menggerakan tubuhnya yang diikat di kursi besi, namun payah sekali, tubuhnya lemas tidak bertenaga. Entah seburuk apa penampilannya kini, yang jelas tubuhnya sakit semua.

"Hahaha! Harusnya aku yang bertanya padamu, Ada. Apa yang kamu lakukan disini—, ekhm, dan mengendap-ngendap ke dalam pondokan kayu anakku selarur ini? Aku berharap bisa mendengarkan alasan yang logis dan bisa kuterima Ada,"

Benjamin berjalan mendekat, mengangkat dagu perempuan itu untuk menatapnya. Meski tengah kesakitan, Ada berusaha mengatur ekspresinya setenang mungkin. Dengan tegas ia gelengkan kepalanya agar tangan Benjamin terlepas dari wajahnya.

"Apa anda tidak lihat kalau anak-anak itu dalam bahaya? Mereka hampir saja mati diserbu makhluk-makhluk itu,"

Benjamin tertawa. "Apakah hati kecilmu sedih jika mereka mati begitu saja? Bukankah ini hal yang biasa kamu temui, jadi kenapa harus ikut campur?!" Tangan pria separuh baya itu mencengkeram leher Ada dengan kuat.

Ada meronta, lehernya tercekat membuat wajahnya memerah. Ia mulai terbatuk, hingga akhirnya Benjamin melepaskan cengkeramannya dan berjalan menjauh. Ada berusaha menjaga kesadarannya sekuat mungkin.

"An-da, se-nga-ja!" ucap Ada tersengal, masih berusaha meraup udara sebanyak-banyaknya. "Biadab!"

"Jangan munafik, Ada. Aku hanya melakukan beberapa tes terhadap anakku sendiri, apa salahnya? Toh, dulu aku bebas melakukan tes terhadap anak orang lain, jadi kenapa tidak pada anakku sendiri?" Benjamin mengintruksikan sesuatu kepada ajudannya. Mereka mendekat membawakan sebuah kursi untuk pria itu duduki, kemudian ajudannya yang lain mengangsurkan cerutu lalu memantiknya. Lelaki itu menghisap dengan penuh ketenangan.

"Tentu kamu ingatkan, bagaimana hebatnya aku sudah mendidikmu. Ah, harusnya kamu tahu bagaimana wajahmu setelah tes terakhir itu. Setelah berhasil membunuh teman-temanmu sendiri, aku sangat bangga ketika mengingatnya,"

"HENTIKAN! HENTIKAN BAJINGAN!" teriak Ada, penjelasan Benjamin tentu saja memantik memori-memori buruk yang berusaha ia pendam dalam-dalam. Benjamin mengintruksikan sesuatu lagi.

Resident Evil Angsty LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang