19 : The Tears

492 45 17
                                    

Banyak deskripsi aja dan ga terlalu panjang, cuman sebagai bonus buat minggu ini. Yuk, panaskan lapak ini❤️‍🔥

Angin malam kembali berhembus kencang, menerbangkan tirai-tirai sliding door yang sengaja dibuka lebar. Benar, selama hidup yang sudah dijalani kurang lebih 33 tahun, kebahagian bagi seorang Ada Wong hanyalah tanda tanya, atau bahkan tanda titik.

Entah sejak kapan, namun sejak ia menyadari bahwa kehidupan rasanya selalu menyakitkan untuk terus mengharap rasa nyaman yang orang-orang sebut dengan kebahagiaan, Ada mulai menyukai kesendirian. Jika tidak disibukkan dengan pekerjaan, ia akan menghabiskan malam-malamnya untuk menatapi langit dengan sebotol wine yang sudah dapat dipastikan akan kosong keesokan harinya.

Biasanya pikirannya akan jauh kembali ke puluhan tahun lalu, mengingat hidupnya dulu, ketika dadanya mulai terasa sesak ia akan menenggak botol winenya tanpa ragu lalu segera beranjak tidur. Begitulah hidup Ada Wong. Namun sejak tahun 1998, objek lamunannya berganti, sama-sama menyesakkan namun ia mampu merasakan hangatnya, hingga disela mabuknya ia akan tersenyum ketika mengingat lelaki itu.

Tapi malam ini, setelah beberapa malam yang tenang dan nyaman, setelah banyak hal yang membuatnya terus tersenyum dan bersemangat, akhirnya ia sampai pada waktu dimana semua harus berakhir. Lelaki yang menawarkannya kehangatan,  memilih pergi. Lelaki itu membencinya, setelah ia pikir bahwa lelaki itu satu-satunya manusia tersisa yang akan memahami semua tindakannya. Lelaki itu tidak memahaminya, tidak sama sekali.

Ingatan masa lalunya kembali, semakin jelas di kepalanya. Wajah kedua orangtuanya yang berlumur darah, wajah teman-temannyaa yang harus ia bunuh, dan wajah marah Leon beradu tempat di kepalanya. Semuanya menyeruak, silih berganti. Botol winenya sudah kosong sejak tadi, namun ia bertahan duduk di depan sliding door yang mengarah ke balkon kamarnya. Angin kembali berhembus kencang, tirai-tirai terbang menampar wajah pucatnya.

Ada berdiri, kakinya melangkah gontai menunju ranjang. Ia tatap dengan getir kamarnya yang gelap gulita, sebelum merebahkan badannya dengan desah lelah.

Kali ini kamu bekerja menggunakan perasaan?

Kamu tidak punya hati nurani

Kali ini kamu bekerja menggunakan perasaan?

Kamu tidak punya hati nurani

Kali ini kamu bekerja menggunakan perasaan?

Kamu tidak punya hati nurani

Kalimat-kalimat itu terus berputar di kepalanya. Meraung meminta diperhatikan, hingga membuat tubuh perempuan itu bergetar. Kerongkongannya tercekat, jantungnya berdentam. Sudah lama sekali, ia pikir dirinya sudah baik-baik saja. Hingga akhirnya, gelombang itu datang lagi. Di tengah gulita yang mengurungnya, tetes-tetes yang telah belasan tahun ia jaga, harus tumpah lagi. Ada Wong menangis.

"Sakit sekali. Kenapa sakit sekali?" isaknya. Ia pukul-pukul dadanya, berharap nyeri yang menyerang bisa sedikit berkurang meskipun tetap sia-sia.

Diantara banyak luka yang pernah tubuhnya rasakan, tidak pernah ada yang sesakit ini; ditinggalkan oleh seseorang yang ia percaya akan menjadi orang yang akan tetap bertahan di sisinya. Ini terjadi lagi, entah kedua orangtuanya ataupun Leon. Lukanya berulang lagi.

Fasenya sama. Dulu orangtuanya juga berteriak, memaki, dengan wajah yang sama persis seperti yang Leon munculkan ketika tahu anak mereka sudah membunuh banyak orang, diusia yang baru menginjak 17 tahun. Mereka pergi meninggalkan dirinya sendirian di tengah kegamangan, dan menyisakan ingatan tentang betapa benci kedua orangtuanya kepada dirinya. Harusnya mereka datang dan memeluknya. Harusnya mereka yang menyelamatkan dirinya yang tengah terjebak. Tapi mereka meninggalkan dirinya, tanpa sedikitpun pemahaman bahwa dirinya tidak berdaya.

Resident Evil Angsty LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang