Hari ini adalah hari dimana Alana bekerja untuk yang pertama kalinya di perusahaan Andra.
Sengaja sekali Alana bangun lebih pagi dari biasanya, demi menghindari keterlambatan yang tidak ia inginkan.
Sebagaimana seorang sekretaris, Alana tampil rapi dengan blous berwarna peach serta bawahan rok span hitam selutut.
Rambutnya yang hitam lurus, dibiarkan tergerai namun tetap rapi.
"Bersiaplah, Alana! Kamu pasti bisa bekerja dengan benar. Meski Andra adalah mantan suami kamu, tapi kamu harus berusaha profesional dalam bekerja. Jika dia kembali merendahkanmu, maka kamu jangan memasukannya ke dalam hati. Anggap saja semua ucapan Andra hanya angin lalu. Kebenciannya tidak akan membuatmu rapuh!" Alana bermonolog. Memberi semangat pada dirinya sendiri.
Manik matanya melirik kearah pintu ruang kerja Andra yang tertutup rapat.
Hampir setengah jam Alana duduk di kursinya, tapi ia belum juga melihat batang hidung Andra.
Laki-laki itu belum tiba di kantor.
Namun, suara pintu lift yang berdenting terbuka, membuat pandangan Alana beralih ke sana.
Alana nyaris terperanjat, ia lalu berdiri dengan segera saat mendapati siapa yang baru saja keluar dari dalam lift itu.
Andra!
Tubuh tegap dan jangkungnya telah terbalut dengan stelan jas kerja berwarna hitam. Dipadu dengan kemeja putih, serta didukung dengan dasi abu yang menjuntai di depan badannya yang bidang.
Membuat penampilan seorang Andra tampak begitu nyaris sempurna.
Alana tersenyum miris dalam hati.
'Kamu memang selalu terlihat tampan, Ndra. Dulu dadamu itu adalah tempat dimana aku bersandar dengan nyaman. Tapi sekarang aku sudah tak bisa memilikinya lagi. Semua yang ada dalam diri kamu sudah bukan milikku.' batin Alana.
Kaki panjang milik Andra, melangkah lebar menuju ke ruang kerjanya.
Tentu saja Andra akan melewati meja Alana terlebih dahulu.
Sadar dengan posisinya yang hanya sekretaris Andra, Alana segera menundukan kepala seraya menyapa Andra selayaknya bawahan kepada boss-nya.
"Selamat pagi, Pak Andra!"
Andra menghentikan langkahnya sejenak.
Hanya sejenak!
Karena selanjutnya, laki-laki itu kembali membawa kakinya pergi melanjutkan langkah.
Meninggalkan Alana begitu saja tanpa merasa perlu membalas sapaan wanita itu.
BRAK!
Alana menatap nanar pada pintu ruangan Andra yang merapat di hadapannya.
Ia meneguk ludah. Kemudian menyunggingkan sebuah senyum kecut di bibir.
"Apa yang kamu harapkan, Alana? Andra akan membalas sapaanmu dengan ramah juga? Heh! Kamu terlalu naif. Laki-laki itu membencimu dengan seluruh perasaannya. Dia sama sekali tidak mengetahui apapun tentang kejadian delapan tahun yang lalu. Dia tidak mengetahui apapun." Alana mendudukan dirinya kembali dengan lemas.
Hatinya mendesah mengingat sifat Andra yang terasa jauh berbeda dengan dulu.
Ketika mereka masih sah sebagai suami istri, ketika orang tua Andra belum mengusik rumah tangga mereka yang bahagia, Alana melihat Andra sebagai sosok lelaki yang sangat lembut dan penuh kasih sayang.
Tak pernah sekalipun Andra berani mengabaikannya.
Tapi kemudian Alana sadar.
Laki-laki itu bukan lagi Andra miliknya.
Mereka sudah tak saling memiliki, semenjak jemari Alana membubuhkan tanda tangan di atas surat cerai yang sudah memporakporandakan kebahagiaan mereka.
***
Setelah jam makan siang selesai, Alana diminta oleh Andra untuk mengantarkan sebuah berkas penting ke ruangannya.
Maka bergegas Alana pergi dari pantry kantor. Menyudahi makan siangnya yang belum tandas.
"Aku harus cepat mengantar berkas yang diminta Andra. Aku tidak ingin Andra marah dan menganggapku tidak becus bekerja." Alana meraih berkas yang sudah ia siapkan di atas meja, lalu kemudian tangannya mengetuk pintu ruang kerja Andra.
Tok! Tok! Tok!
Alana mengetuknya berkali-kali. Tapi ia tak mendengar sahutan dari dalam.
"Apa mungkin Andra tidak ada di ruangannya?" gumam Alana ragu.
Yang Alana tahu, Andra hanya menelponnya dan menyuruhnya mengantar sebuah berkas penting.
Itu saja!
"Ah, sudahlah. Sebaiknya aku buka saja pintunya. Mungkin Andra sedang keluar. Aku akan simpan berkasnya di atas meja kerja dia," kata Alana seraya mendorong pintu dan membentangkannya lebar-lebar.
"Aakhhh..." tapi kemudian Alana terhenyak mundur ke belakang, saat matanya menangkap sebuah pemandangan yang membuat ulu hatinya berdenyut.
Andra tidak sedang keluar. Laki-laki itu sedang duduk di kursi kerjanya.
Hanya saja... Sambil memangku seorang wanita cantik dan seksi.
"Apa kamu tidak tahu cara mengetuk pintu, Alana!" bentak Andra dengan intonasi yang tinggi. Suaranya terdengar kesal.
"Ma-maaf, Pak Andra. Aku sudah mengetuk pintu dari tadi. Aku pikir Pak Andra tidak ada di dalam ruangan," cicit Alana pelan dengan membelakangi Andra.
Sembari mendekap erat berkas di dadanya, Alana enggan menatap ke arah sana. Alana tidak mau hatinya terluka kian dalam.
Cukup sudah pemandangan tadi mematahkan hatinya hingga hancur berkeping-keping.
"Sepertinya sekretaris kamu itu tidak tahu sopan santun, sayang. Dapat darimana sih, dia?!" suara wanita itu terdengar sebal.
Membuat Alana meremas jemarinya kuat. Wanita itu memanggil Andra dengan sebutan sayang?
Siapa sebenarnya dia bagi Andra? Hati Alana bertanya-tanya.
"Sekali lagi aku minta maaf, Pak Andra. Aku hanya berniat mengantar berkas penting yang Anda minta." Alana membuka suara. Berharap ia bisa segera pergi dari sana. Hatinya yang sesak butuh bernafas lega.
"Kemarilah! Dan simpan saja di atas mejaku! Setelah itu, segera tinggalkan kami! Dan jangan lagi menggangguku jika tidak penting. Karena aku masih ingin menghabiskan waktu bersama calon tunanganku!" tegas Andra yang kata-katanya membungkam bibir Alana.
Calon tunangan? Jadi wanita tanpa busana itu adalah calon tunangan Andra? Laki-laki itu ternyata sudah kembali menjatuhkan hati pada wanita lain dan melupakan pernikahan mereka.
Ah, tentu saja! Ini sudah delapan tahun, bukan?
Dengan berusaha tetap tenang, Alana berbalik dan melangkah menuju tempat dimana Andra masih memangku wanita itu dengan mesra.
Tak tahan berada di sana, Alana memilih keluar dari ruangan itu. Sedikit berlari, lantas menutup pintunya dengan segera.
BRAK!
Kini Alana mempercepat larinya. Ia tak bisa lagi menahan tangis. Alana butuh ruangan yang senyap untuk menumpahkan isakannya.
Kakinya yang ramping berhenti di sebuah kamar kecil khusus karyawan. Alana mematut dirinya pada sebuah cermin besar yang memantulkan bayanganya sendiri.
"Ya Tuhan! Rasanya hatiku sakit melihat Andra bercumbu dengan wanita lain. Aku tahu dia sudah bukan suamiku. Tapi rasa cinta di hatiku masih tetap sama. Aku masih mencintainya sebesar dulu." Alana mendesah sambil menangis di depan cermin.
Air mata sudah meluruh membasahi kedua belah pipinya yang seputih pualam.
Hari ini, Andra betul-betul telah membelah hati Alana dan meremukannya hingga tak berupa.
"Kamu bahkan sudah memiliki calon tunangan, Ndra. Kamu sudah bisa jatuh cinta pada wanita lain. Sedangkan aku? Sampai detik ini, aku masih disiksa oleh rasa rinduku. Aku pun berkali-kali menolak Danu, karena aku masih belum bisa melupakan kamu. Aku masih sangat mencintai kamu, Ndra."
Alana menunduk, mengencangkan tangisnya. Tak akan ada seorang pun yang mendengar dan melihat keadaannya saat ini.
Sebab kamar kecil di lantai ini selalu sepi. Jadi Alana bebas meski ia menagis sepuas hatinya.
***
“Turun dari pangkuanku, Sherly! Aku harus bekerja,” kata Andra setelah Alana keluar dari ruangannya.
Andra tahu Alana pasti sedang menangis saat ini. Entah ke mana wanita itu berlari menumpahkan air matanya.
Sebenarnya, Andra memang sengaja merencanakan semua ini. Andra ingin agar Alana merasa cemburu dan sakit hati.
Menurut Andra, Alana juga harus merasakan kepedihan yang menyiksanya selama delapan tahun terakhir.
Bukankah Andra juga merasakan sakit yang sama ketika Alana pergi meninggalkannya?
Tapi entah mengapa Andra tak merasa puas sama sekali dengan apa yang baru saja ia lakukan pada Alana. Segelintir rasa kasihan menyeruak masuk begitu saja dalam hatinya.
‘Tidak! Untuk apa aku kasihan pada wanita itu? Dia sudah membuat hidupku hancur berantakan. Dia juga tega meninggalkanku untuk lari dengan lelaki lain? Jadi untuk apa aku merasa kasihan padanya?’ Andra mendengus di dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Istri CEO Tampan
Romance"Saya akan bantu lunasi biaya operasi Andra. Tapi dengan satu syarat," ucap wanita tua itu pada Alana. "Apa syaratnya, Ma?" "Tinggalkan Andra, dan pergi sejauh mungkin dari kehidupannya!" Demi kesembuhan Andra, Alana rela meninggalkan suaminya itu...