Candu pada Alana

3.5K 59 2
                                    

Andra hanya menoleh pada ibunya itu, lalu mengedikkan bahu. “Tentu saja aku sudah menidurinya, Ma. Alana ‘kan pernah menjadi istriku dulu. Kalau aku belum pernah menidurinya, mungkin dia masih tetap perawan hingga saat ini.” 

Seketika Nita langsung menarik napas lega setelah mendengar kalimat Andra barusan. 

‘Hah, syukurlah. Berarti Andra memang tidak melakukan apapun dengan wanita murahan itu selama mereka berada di bali. Karena kalau sampai Andra menyentuh Alana. Aku takut Alana akan hamil. Cuih. Mana sudi aku memiliki cucu dari rahim wanita miskin seperti Alana.’ batin Nita berdecih.

“Sudahlah, Ma. Aku sangat pusing. Apa Mama bisa pergi meninggalkanku untuk istirahat sebentar?” pinta Andra mengusir Nita secara halus.

Nita menghembuskan napas kasar. Tapi ia tak urung bangkit dari duduknya.

“Ya sudah. Kamu istirahat saja. Tapi ingat satu hal, Andra. Mama tidak mau kejadian Tuan Arwen yang kecewa dengan perlakuan kamu sama Sherly terulang lagi. Berusahalah untuk bersikap baik pada Sherly. Jangan buat Mama dan Papa malu di hadapan Tuan Arwen.” Nita berpesan dengan wajahnya yang terlihat tegas.

“Hemm..” dan Andra hanya menanggapinya dengan dehaman. 

Setelah itu, Nita berlalu keluar dari kamar Andra. Meninggalkan Andra yang menghembuskan napas kasarnya seraya mengusap wajah dengan sebelah tangan.

“Aku memang sudah menyentuh tubuh Alana lagi. Dan aku tidak merasa menyesal sama sekali saat melakukannya,” gumam Andra lalu memilih mematikan televisi. Andra bangkit berdiri sambil melepaskan satu per satu kancing kemejanya, sementara kakinya berjalan menuju lemari.

“Bahkan aku masih merasa wangi tubuh Alana tercium di badanku meski aku sudah berkali-kali membasuhnya. Sialnya wanita itu membuatku candu! Tapi aku jangan sampai terperangkap lagi dengan jebakannya. Aku bisa saja menikmati tubuhnya kapanpun aku mau. Tapi aku tidak boleh membiarkan hatiku ikut andil di dalamnya.” Andra melempar kemeja putih itu ke keranjang cucian. Membiarkan tubuh bagian atasnya polos dan memperlihatkan perutnya yang seperti roti sobek.

Lantas Andra meraih handuk dan memutuskan untuk membersihkan dirinya di kamar mandi. Mungkin sambil sekalian melepaskan sesuatu yang terasa menggembung di balik celananya akibat ia membayangkan malam-malamnya bersama Alana ketika mereka di bali.

***  

“Ini adalah bukti cinta kita, Ndra. Dulu kamu memakaikannya di jari manisku setelah kita dinyatakan sah sebagai suami istri,” kenang Alana sembari tersenyum menatap pada sebuah cincin emas putih yang ia pegang. 

Saat ini Alana berada di kamarnya. Entah angin dari mana tiba-tiba saja Alana ingin sekali melihat kotak cincin serta foto pernikahannya dengan Andra dulu.

Ya. Alana memang masih menyimpannya hingga sekarang. Tanpa sepengatuhan Rehan ataupun Winarti. Hanya dua benda itu yang Alana miliki tentang Andra. 

“Dulu kamu pertama kalinya menciumi keningku di hadapan orang lain. Menyatakan aku sebagai istrimu yang sangat kamu cintai. Jika aku teringat dengan masa-masa itu, aku selalu merindukanmu. Hanya cincin dan foto inilah yang akan mengobati kerinduanku sama kamu, Ndra.”

Sekali lagi Alana tersenyum. Menatap penuh cinta pada selembar foto yang bahkan sudah agak lusuh. Namun Alana tetap menjaganya dengan sangat baik.

“Mama lagi apa?” seruan Rehan yang tiba-tiba saja masuk ke dalam kamarnya, membuat Alana spontan menarik laci dan memasukan kembali kedua benda itu ke dalamnya. 

“Rehan? Kamu sudah selesai belajarnya, sayang?” tanya Alana menoleh. Rehan mendekat dan duduk di samping Alana.

“Sudah, Ma. Tadinya Rehan mau ngajak Mama untuk makan malam. Tapi Rehan malah lihat Mama sedang senyum-senyum sendiri sambil melihat sebuah foto. Kalau boleh Rehan tahu, itu foto siapa Ma?” 

Alana menelan ludahnya bingung. Ia tak menyangka jika Rehan akan memergokinya dan menanyakan hal yang tidak bisa ia jawab.

“Ah, itu.. itu foto Mama waktu masih kecil dulu. Mama merasa lucu saja melihatnya. Makanya Mama sampai tersenyum-senyum sendiri.” Alana berbohong. Menyembunyikan kebohongannya dalam senyuman.

“Wah, foto Mama waktu kecil ya? Boleh Rehan lihat, Ma? Rehan juga ingin tahu selucu apa Mama saat masih kecil dulu,” pinta Rehan dan Alana langsung menggelengkan kepalanya.

“Jangan, Rehan!” Alana menjerit tanpa sadar. Membuat Rehan mengerutkan keningnya merasa heran melihat tingkah Alana yang tampak aneh.

“Emh, maksud Mama. Jangan sekarang. Mama sangat malu karena foto Mama waktu kecil itu culun sekali, jelek, terus pokoknya tidak ada bagus-bagusnya.” 

Rehan tertawa. Sementara Alana mengulum bibirnya lucu. Berpura-pura cemberut sambil melipat kedua tangannya di depan—dada.

“Tuh, ‘kan. Baru Mama ceritakan saja kamu sudah menertawakan Mama!” 

Rehan mengikik memegangi perutnya. “Habisnya bayangin wajah Mama waktu kecil pasti lucu. Ya sudah kalau memang Rehan tidak boleh lihat fotonya sekarang. Rehan mau tanya saja sama nenek, pasti nenek juga punya foto Mama waktu masih kecil dulu,” ucap Rehan yang masih terkekeh lalu bangkit berdiri dan pergi begitu saja keluar dari kamar.

“Nenek! Nenek! Rehan mau lihat foto Mama..” 

Alana tersenyum menggeleng-gelengkan kepala mendengar teriakan Rehan yang memanggil Winarti. 

Kini tatapan Alana kembali nyalang dan ia menghembuskan napasnya pelan. Terbesit rasa bersalah karena Alana sudah membohongi Rehan tentang selembar foto itu.

“Maafin Mama, Rehan. Mama belum siap membuka tentang siapa sosok papa kamu yang sebenarnya. Kamu masih terlalu kecil untuk mengetahui banyak hal,” gumam Alana menatap pada pintu kamarnya yang terbuka. Dimana tadi tubuh mungil Rehan menghilang dari sana.

*** 

Setelah membersihkan tubuhnya, Andra keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di pinggang. Sedangkan tangannya sibuk menggosok-gosok rambut cepaknya yang basah dengan handuk kecil berwarna merah.

Tungkainya berjalan menuju cermin. Namun suara dering ponsel di atas nakas membuat Andra berdecak pelan. 

“Ck! Siapa yang menelponku malam-malam begini?” rutuk Andra tapi kemudian ia mengumpat ketika matanya menangkap nama Sherly yang terpampang di layar ponselnya.

“Hallo. Aku harap kamu mau membicarakan hal yang penting, Sherly. Kalau tidak sebaiknya matikan saja telponnya sekarang!” ucap Andra pada Sherly setelah ia mengangkat telponnya.

‘Ya ampun, sayang. Nada bicara kamu apa nggak bisa lebih lembut dari itu? Padahal aku nelpon kamu karena aku kangen sekali sama kamu, Ndra. Dua hari kamu hilang tanpa kabar. Dan aku di sini seperti orang bodoh yang menunggu kepulangan kamu.’ nada Sherly terdengar merengek.

Andra mendengkus masam.

“Akhirnya kamu mau mengaku juga kalau kamu itu memang bodoh,” gumam Andra pelan. Namun masih bisa didengar oleh Sherly.

‘Apa, Ndra? Kamu kok begitu sih? Aku sedang sedih karena tidak bertemu kamu beberapa hari. Seharusnya kamu menghibur aku, atau ajak aku makan malam sebagai gantinya. Bukannya malah ngejek aku!’ 

Andra memutar bola matanya. Ia melempar handuk bekas rambut basahnya hingga masuk ke keranjang cucian. Lantas kini Andra membuka lemari, memilah-milah piyama tidur sambil ponselnya masih menempel di telinga kanan.    

“Hemm.. sudah cukup bicaranya ‘kan? Jujur saja aku tidak punya waktu untuk meladeni rengekanmu itu, Sherly.”  

‘Tapi, Ndra. Aku masih mau bicara sama kamu. Jangan matiin dulu telponnya sayang. Aku—“

TUT!

Tanpa memperdulikan ocehan Sherly, segera saja Andra memutuskan sambungan telponnya lantas melempar ponselnya itu ke atas kasur.

“Ck! kerjaannya hanya mengganggu saja!” rutuk Andra melepas selembar handuk putih yang membelit di pinggangnya. Memasukannya juga ke keranjang cucian. Lalu Andra mulai mengenakan piyama tidurnya yang berwarna abu.

Mantan Istri CEO TampanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang