Ya. Andra yang sekarang adalah seorang lelaki yang lebih menyukai warna-warna netral dalam segala hal. Baik itu berpakaian sekalipun.
Bagi Andra, warna netral lebih menggambarkan dirinya yang tak lagi memiliki warna dalam hidup. Andra sudah kehilangan warna cerah dalam hidupnya delapan tahun silam. Dan semenjak itu, Andra mulai membenci sosok dirinya yang dulu.
“Kira-kira sedang apa wanita itu malam ini?” gumam Andra bertanya-tanya setelah tubuhnya berbaring telentang di atas ranjang. Sedang matanya lurus menatap pada langit-langit kamar. Tentu saja wanita yang dimaksud Andra adalah Alana.
“Apa Alana masih mengingat malam-malam kami selama di bali kemarin? Apa dia juga masih mengingat sentuhanku?” tanya Andra lagi. Kedua tangannya terlipat di bawah kepala. Andra menjadikannya sebagai bantal.
Sebaris senyum tipis terukir di bibir Andra kala membayangkan bagaimana ia menikmati tubuh Alana dan menyusuri setiap inchi kulit Alana dengan bibirnya.
“Tubuhmu masih sangat manis. Persis seperti dulu. Dan.. entah mengapa malah membuatku candu. Aku bahkan tidak tahu, apa saat kita bertemu lagi di kantor nanti, apakah aku bisa mengendalikan diriku untuk tidak menyentuhmu,” ucap Andra, masih dengan senyum di bibirnya. Matanya menyipit membayangkan wajah polos Alana yang begitu cantik saat hendak mencapai pelepasan bersamanya.
Namun seketika senyum Andra luntur, saat benaknya teringat akan sesuatu yang membuatnya menghembuskan napas kasar.
“Tapi sampai sekarang aku masih tidak bisa tenang. Aku masih penasaran dengan siapa sosok dua orang laki-laki yang bernama Rehan dan Danu itu? Kenapa tampaknya Alana begitu dekat sekali dengan mereka? Apa aku harus mencari tahu? Ah, tapi untuk apa. Jika aku mencari tahu tentang para lelaki yang ada di sekeliling Alana, sama saja aku mengakui kalau aku merasa cemburu. Tidak! Aku tidak cemburu! Untuk apa aku cemburu pada wanita seperti Alana. Seorang Andra tidak akan pernah lagi buta karena cinta. Alana bukan wanita yang istimewa!”
Andra menggelengkan kepalanya dengan tegas. Mengusir rasa penasaran yang menyelinap dalam benaknya. Enggan mengakui isi hatinya yang terbakar oleh sesuatu yang bernama cemburu.
“Terserah saja Alana mau dekat dengan berapa lelaki sekalipun. Itu bukan urusanku! Ingat, Andra. Jangan pernah terperdaya dengan yang namanya wanita. Apalagi wanita itu yang sok lemah namun penghianat seperti Alana!” tekan Andra pada dirinya sendiri. Rahangnya merapat saat mengucapkan itu.
Tidak mau terus-menerus memikirkan tentang Alana, Andra memutuskan untuk mematikan lampu tidur, lantas menenggelamkan dirinya dalam balutan selimut tebal.
Semoga saja malam ini Andra tidak memimpikan Alana! Ya. Karena sialnya wanita itu sering muncul dalam mimpi-mimpi Andra sejak delapan tahun lalu hingga sekarang.
Membuat kehidupan Andra terusik. Dan benaknya hanya dipenuhi oleh sosok Alana.
***
Hari minggu adalah hari libur baik itu untuk Alana maupun Rehan.
Kali ini Alana baru beranjak bangun dari tidurnya. Ia menurunkan kakinya ke lantai sembari sedikit meregangkan otot-ototnya yang terasa pegal setelah bangun tidur.
“Hoam! Jam enam pagi. Rehan pasti masih tidur. Lebih baik aku mandi dulu dan bersiap-siap. Baru nanti ku bangunkan Rehan,” gumam Alana seraya bangkit berdiri dan melangkah ke kamar mandi.
Tak berapa lama, Alana sudah keluar dari kamar mandi lengkap dengan pakaian rumahannya. Tungkainya kini berjalan menuju ke kamar Rehan.
“Ke mana ibu? Tumben sekali ibu belum bangun jam segini,” ucap Alana menatap sekeliling rumah yang tampak sepi. Biasanya Winarti sudah bersiap ke dapur dan Alana akan membantu memasak.
Tetapi kali ini Alana tak mendengar suara apapun dari dapur. Bahkan kamar Winarti pun tertutup dengan rapat.
Tangan Alana kini terangkat, mengetuk pintu kamar Rehan.
“Rehan! Sayang, kamu belum bangun ya? Mama masuk ya.” Alana memutar kenop perlahan. Kemudian ia membuka pintu kamar Rehan lebar-lebar.
DUARR!
“Aakhh!”
“Surprise!”
Alana terkejut melebarkan matanya. Saat sebuah balon meletus bertepatan ketika ia membuka pintu itu. Lantas serpihan kertas berjatuhan mengenai rambut dan tubuhnya dari atas.
Dan yang tak kalah membuat Alana terkejut lagi, ternyata di dalam kamar Rehan juga ada Danu. Yang memegang sebuah trompet khusus ulang tahun sambil meniupnya. Sejak kapan Danu datang? Entahlah. Tapi laki-laki itu tampak rapi dengan kemeja berwarna merah hati.
“Happy birthday Mama.. Happy birthday Mama..” Rehan yang memegangi kue ulang tahun kini memulai bernyanyi. Disusul oleh Danu dan Winarti sambil bertepung tangan.
Alana menyeka sudut matanya yang berair dengan perasaan penuh haru. Tidak menyangka jika semua orang yang disayanginya masih mengingat dengan betul hari jadinya yang ke dua puluh delapan.
“Selamat ulang tahun, Mama! Semoga Mama bahagia selalu dan makin sayang sama Rehan,” ucap Rehan setelah Alana meniup lilin dan mengecup kening bocah laki-lakinya.
“Terimakasih banyak, Rehan. Mama pasti akan semakin sayaaang sama anak laki-laki Mama yang ganteng ini,” kata Alana mencubit pipi gembil Rehan. Membuat bocah itu terkekeh pelan.
“Selamat ulang tahun, Alana. Mama doakan kamu segera mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Juga sosok laki-laki yang bisa membuat kamu dan Rehan bahagia dan merasa terlindungi.” Winarti mendekati Alana, lalu menyentuh kedua pundaknya.
“Aku tidak akan menolak sebuah doa. Apalagi doa yang berasal dari mulut seorang ibu yang telah melahirkanku. Jadi aku ucapkan terimakasih banyak untuk doanya, Bu. Aku juga sangat menyayangi ibu.” Alana menarik tangan Winarti, kemudian memeluk ibunya itu dengan erat.
Rehan dan Danu saling pandang satu sama lain. Mereka melempar senyum bahagia.
Setelah Alana dan Winarti mengurai pelukan—mereka, kini giliran Danu yang maju dan menghadap pada Alana.
Tapi belum juga Danu bicara, Alana sudah menatapnya sambil memicingkan mata. Kedua tangannya terlipat di—dada. Membuat Danu merasa salah tingkah.
“Kamu sudah datang tanpa memberitahuku, lalu tiba-tiba membuat kejutan ulang tahun? Aku tahu kalau ini semua pasti rencanamu, bukan?” tebak Alana menyipitkan matanya.
Danu menggigit bibirnya sambil menunduk menyembunyikan senyumnya yang terkembang di wajah. Tapi kemudian Danu mengangguk pelan. Menatap kembali pada Alana dengan sebaris senyuman.
“Iya. Aku sengaja mengambil cuti jauh-jauh hari, karena aku selalu teringat dengan hari spesialmu, Alana. Hari ini adalah hari peringatan dimana seorang wanita yang paling cantik, kuat, dan tegar di dunia telah dilahirkan. Dan aku ingin menjadi bagian dari hari yang istimewa itu.”
Ucapan Danu membuat Rehan dan Winarti mengulum senyum tanpa bisa ditahan. Sementara Alana langsung tergugu di tempatnya. Kini justru lidahnya yang terasa kelu.
“Aku bahkan sudah mempersiapkan hadiah yang sangat special untukmu..” ucap Danu memiringkan kepalanya menatap Alana.
Lalu tangan kanan Danu merogoh ke dalam saku celananya, mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna merah. Namun seketika mampu membuat Alana terhenyak menatap kotak itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Istri CEO Tampan
Romance"Saya akan bantu lunasi biaya operasi Andra. Tapi dengan satu syarat," ucap wanita tua itu pada Alana. "Apa syaratnya, Ma?" "Tinggalkan Andra, dan pergi sejauh mungkin dari kehidupannya!" Demi kesembuhan Andra, Alana rela meninggalkan suaminya itu...