Cara Balas Dendam

4.3K 86 0
                                    

  Andra menatap lurus ke depan. Ia tak mengelak akan tuduhan Nita, ataupun membenarkannya. 

‘Andra!’

“Sudah dulu ya, Ma. Aku belum sarapan dan siang ini harus melakukan pertemuan lagi dengan klien-ku.” 

TUT!

Tanpa menunggu sahutan dari ibunya, Andra langsung memutuskan sambungan telponnya begitu saja. Setelah itu Andra bangkit dari sofa dan ia menarik napas pelan. Kini matanya menatap pada cermin yang ada di hadapannya.

“Apa yang Mama bilang itu memang benar, Ma. Aku dan Alana sudah melakukan hubungan suami istri lagi. Aku sudah kembali menyentuhnya. Dan sialnya, tubuh Alana justru membuatku makin haus dan merindukan sentuhannya lagi,”  gumam Andra sambil berkaca pinggang dan menatap pantulan tubuh tegapnya di cermin.

Andra tidak tahu jika efek dari tubuh Alana akan membuatnya menjadi seperti ini. Wanita itu seakan memiliki magnet yang akan menarik Andra untuk kembali merasakan tubuhnya lagi dan lagi.

*** 

Alana baru saja mandi dan berganti baju. Tapi kemudian matanya melirik kearah sprei putih yang membungkus ranjangnya dengan berantakan. 

Seketika ingatannya tentang sentuhan Andra semalam kembali membuatnya menghela napas pelan.

Andra benar-benar baru berhenti saat Alana merasa kelelahan dan tak berdaya lagi.  Wanita itu bahkan nyaris pingsan.  

“Apa begini cara kamu membalaskan kebencianmu padaku, Ndra? Kamu ingin merenggut harga diriku terus-menerus?” Alana mendesah lemah. Lalu ia mulai mencopot spreinya dan memasukannya ke dalam keranjang cucian.

Petugas hotel nanti akan datang dan memasang sprei yang baru.

Saat Alana menghempaskan pantatnya di tepi ranjang, tiba-tiba saja ia teringat akan Rehan. Bocah kecilnya yang ia tinggalkan bersama ibunya di Jakarta.

“Rehan. Kamu sedang apa, sayang? Mama rindu sekali sama kamu. Sekarang ‘kan hari libur. Pasti kamu sedang main di rumah bersama nenek.”  Alana tak bisa menahan rasa rindunya.

Sejak pertama ia tiba di bali. Alana hanya sempat memberi kabar pada Winarti melalui pesan Whatsapp. Tapi kali ini Alana ingin mendengar suara Rehan. Suara kecil yang begitu ia rindukan.

‘Hallo, Mama! Mama apa kabar? Rehan senang akhirnya Mama telpon ke rumah. Mama baik-baik saja di bali ‘kan?’ Rehan langsung menyerobot Alana dengan pertanyaan, begitu telponnya tersambung.

Alana mengangguk pelan sambil menahan matanya yang berkaca-kaca. Karena sejujurnya ia tak sedang baik-baik saja setelah mendapat perlakuan rendah dari  Andra.

“Kabar Mama baik sayang. Mama  kangen Rehan.” 

‘Kok suara Mama serak? Mama habis nangis ya? Bilang sama Rehan, Ma. Siapa yang sudah buat Mama nangis?’  tanya Rehan dengan nada cemas.

Alana menelan ludahnya.  Lalu menyeka air mata yang meluruh melewati pipinya. Andai Rehan tahu jika yang telah membuatnya menangis adalah Papa kandungnya. Akan bagaimana perasaan bocah itu?

“Siapa bilang Mama nangis? Mama tidak nangis kok sayang. Suara Mama agak serak karena Mama sedang sakit tenggorokan. Tapi besok lusa juga pasti sembuh. Rehan tidak usah khawatir ya.” Alana lebih baik berdusta daripada membuka lukanya pada Rehan yang masih sangat kecil.

‘Mama sakit tenggorokan? Mama kurang minum ya. Mama harus banyak minum air putih biar sakit tenggorokannya cepat sembuh Ma.’

“Iya, sayang. Di mana nenek?”

‘Nenek sedang ke luar sebentar.  Katanya mau membeli sesuatu. Rehan kangen sekali sama Mama. Mama besok pulang ‘kan? Rehan akan tunggu Mama di rumah. I love you Mama.’

Alana tersenyum mendengar suara Rehan yang begitu antusias karena ia akan pulang besok.

“Iya sayang. I love you too, Rehan.” Alana mematikan sambungan telponnya.

Kini ia menghembuskan napas pelan. Rasanya hatinya lega sudah setelah ia mendengar suara Rehan.

Tanpa Alana tahu, Andra membeku di depan pintu kamar Alana dengan kening yang berkerut.  Sebelah tangan lelaki itu terkepal di udara. Andra tadinya hendak mengetuk pintu  dan mengajak Alana untuk  sarapan. 

Tapi semua itu tertahan saat telinganya mendengar Alana sedang berbincang-bincang lewat telpon. Lagi-lagi Alana mengumbar kata-kata mesra dengan orang yang menelponnya. Meski Andra tak begitu mendengar dengan jelas.

“Tampaknya Alana senang sekali saat sedang berbicara dengan orang itu. Rehan! Tadi Alana memanggil orang yang menelponnya dengan nama Rehan. Siapa dia? Apa dia adalah kekasih Alana? Apa Rehan adalah orang yang sama yang menelpon Alana saat di kantor?” gumam Andra pelan dengan bertanya-tanya.

Tak dipungkiri lagi jika rasa cemburu telah menyelinap ke dalam hatinya saat ini. Mendengar Alana begitu mesra dan senang saat berbicara dengan orang bernama Rehan itu. Membuat Andra semakin penasaran, seperti apa lelaki yang bernama Rehan itu? Mengapa dia bisa menarik hati Alana?

Setelah terdiam menyelami pikirannya, akhirnya Andra benar-benar mengetuk pintu kamar hotel Alana. Dan tak lama kemudian pintu kamar itu terbuka, Alana muncul setelahnya dan ia menatap Andra dengan raut heran.

‘Tumben sekali Andra mengetuk pintu. Bukankah Andra biasanya akan masuk begitu saja dengan kartu akses yang ia punya?’ batin Alana bertanya-tanya.

Kini wajah tegas Andra terpampang di hadapannya. Lelaki itu tampak terlihat tampan dengan balutan kemeja tanpa  dasi yang mencetak tubuh sixpacknya.

“Aku ingin mengajakmu sarapan. Jika kamu sudah siap, kita akan pergi sekarang!” kata Andra tanpa basa-basi. Dan Alana segera menganggukan kepala.

“Baiklah. Tapi tunggu sebentar. Aku mau mengambil tasku dulu.”  Alana berlalu sejenak dari hadapan Andra. Ia menyambar sebuah tas selempang berwarna biru muda yang terletak di atas nakas. Kemudian Alana kembali menghampiri Andra yang masih berdiri tegak di ambang pintu.

“Aku sudah siap. Ayo kita berangkat!” ucap Alana.

Tapi Andra hanya melemparkan tatapan datar padanya, sebelum akhirnya membalikan badan dan melangkah lebih dulu menuju lift.

Alana menghembuskan napas pelan. Lalu menggelengkan kepala sembari mengunci pintu kamar hotelnya. 

Alana mengekori langkah Andra hingga memasuki lift. Tak berapa lama kemudian, lift yang membawa mereka berhenti di lantai sepuluh. Di mana tempat sarapan yang mereka tuju berada.

“Mau memesan apa?” tanya seorang pelayan hotel wanita dengan ramah setelah Andra dan Alana duduk di sebuah kursi yang saling berhadapan.

Tampak pelayan hotel itu menatap  ke arah Andra dengan pandangan kagum dengan ketampanannya. Andra tahu, tetapi ia memilih tak memerdulikannya sama sekali.

“Aku mau kopi pahit dan setangkup roti saja,” jawab Andra. Dan pelayan hotel itu mengangguk tersenyum, lalu menoleh pada Alana.

“Aku mau susu hangat dan pastry,” kata Alana pada si pelayan hotel.

Setelah semua pesanan diulang, pelayan hotel itu kemudian menarik dirinya dari hadapan Andra dan Alana. Alana melarikan matanya ke samping, dimana terlihat jelas gedung-gedung tinggi pencakar langit dan jalanan yang tampak lenggang  dari atas ketinggian lantai sepuluh ini.

Pemandangan itu hanya terhalang oleh kaca pembatas yang lebar.

‘Syukurlah ada sesuatu yang bisa ku lihat. Setidaknya aku jadi tidak terlalu merasa gugup karena harus duduk berhadapan dengan Andra,’ batin Alana.

Mantan Istri CEO TampanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang