Sementara Darma tertawa dalam hatinya. Ya. Memang inilah yang Darma tunggu. Dengan sengaja Darma ingin Alana mendengarnya lalu kemudian wanita itu merasakan sakit hati.
‘Rasakan kamu wanita murahan! Saya harus menunjukan pada kamu dimana tempat kamu yang sebenarnya. Yaitu di bawah kaki Andra. Kamu hanya pantas menjadi babunya Andra. Bukan jadi pendampingnya. Mimpi jika kamu berniat mengejar cinta Andra kembali. Karena yang pantas menjadi menantu saya hanya Sherly. Saya tidak sudi memiliki menantu seperti kamu! Dan ya, sekarang kamu sudah paham seberapa rendah derajat kamu, bukan?’ batin Darma berkata dengan sinis.
Tapi sebaris senyum jumawa masih terukir di wajahnya. Tampak jelas raut puas di wajah Darma.
“Pa! Kita belum—“
“Maaf. Ini kopinya, Tuan Darma. Silakan. Aku permisi..” belum juga Andra menyelesaikan kata-katanya, Alana sudah memotong dengan pamit pada Darma.
Darma mengangguk mengibaskan tangannya di udara. Mengisyaratkan agar Alana memang harus segera pergi.
Sedang Andra melayangkan tatapan nanar pada punggung Alana yang mulai ditelan oleh pintu. Entah mengapa Andra mendadak tidak tega melihat wajah Alana yang tampak sendu begitu mendengar ucapan Darma tadi.
“Kenapa Papa memutuskan tanpa meminta pendapat dariku dulu? Sejak kapan aku mengatakan setuju untuk bertunangan dengan Sherly di acara ulang tahun perusahaan nanti?!” tanya Andra yang menatap Darma dengan wajah penuh tuntutan.
Andra tidak terima. Dan ia merasa dipermainkan karena Darma seenaknya saja mengambil keputusan tanpa sepengetahuannya. Apalagi Darma mengatakan jika Andra harus mengenalkan Sherly di hadapan semua orang sebagai calon istrinya.
Mana bisa? Andra saja tidak mencintai Sherly. Andra belum siap menikah dengan wanita itu.
“Keputusannya sudah bulat, Andra. Papa dan Tuan Arwen sudah membicarakan tentang hal ini. Sherly pun sudah setuju. Dia malah senang mendengarnya,” kata Darma dengan raut santainya. Menaikan kaki kanannya ke atas kaki kiri. Kemudian menyesap kopi yang tadi Alana buatkan untuknya.
Andra berdecak mengepalkan tangannya di atas meja.
“Tentu saja Sherly akan setuju. Karena dia orang yang paling menginginkan perjodohan ini!” ketus Andra masih merasa kesal.
“Ayolah, Andra. Apa susahnya bertunangan? Dengar ya. Papa tidak menerima bantahan apapun. Pokoknya keputusan yang sudah terjadi di antara Papa dan Tuan Arwen, sudah tidak bisa diganggu gugat. Kalau Papa meminta pendapat kamu dulu, sudah pasti kamu akan menolaknya. Kamu hanya akan menjawab nanti, nanti dan nanti! Padahal Tuan Arwen sudah banyak membantu perusahaan kita.”
“Tidak, Pa. Perusahaan kita maju atas kerja keras Andra! Bukan karena campur tangan Tuan Arwen. Papa berkata begitu hanya karena Papa terlalu mengagung-agungkan Tuan Arwen dan seluruh asset kekayaan yang dimilikinya. Sampai-sampai Papa tega menggadaikan anak sendiri untuk dijodohkan dengan wanita seperti Sherly!”
BRAK!
“Diam kamu, Andra! Tutup mulut kamu! Kurang ajar sekali kamu berani bicara seperti itu pada Papa!” Darma menggebrak meja dan menyorot bola mata Andra dengan kilatan tajam. Kedua tangannya terkepal hingga jari-jemarinya memutih.
“Kenapa, Pa? Memang seperti itu kenyataannya ‘kan? Aku heran. Kenapa Papa dan Mama haus sekali dengan kekayaan. Padahal apa yang kurang dalam hidup kita? Kita punya rumah yang besar, kendaraan yang mewah, juga perusahaan yang maju pesat. Jadi apa lagi yang menurut Papa kurang, heh?” Andra mengangkat dagunya menatap wajah Darma yang tampak menggeram dengan merah padam.
“Kamu memang sudah benar-benar terkontaminasi dengan pengaruh buruk dari wanita murahan itu. Hingga kamu tidak lagi memiliki kesopanan saat berbicara dengan Papa!” geram Darma.
Andra menggeleng. “Bukan Pa. Sudah berapa kali aku bilang, jangan pernah sangkut pautkan Alana setiap kali kita sedang berdebat. Aku sedang bicara soal harta dan perjodohan. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan Alana.”
“Tapi wanita miskin itu yang membuat kamu tidak mau menerima Sherly! Kamu pasti masih mencintainya ‘kan? Iya ‘kan, Andra? Kamu masih mencintai wanita murahan itu? Katakan pada Papa. Apa wanita itu menggoda kamu lagi dengan tubuhnya?”
“Pa!” Andra tak tahan. Ia bangkit berdiri dan tanpa sadar melemparkan pelototannya pada Darma. Rahangnya merapat merasa tak terima dengan hinaan Darma terhadap Alana barusan.
Entah mengapa hati Andra sakit mendengarnya. Andra tidak suka Alana direndahkan oleh orang lain. Padahal Andra sendiri pun sering membuat Alana sakit hati dan sering pula menghina wanita itu hingga berurai air mata.
Darma berdecih. Dan menatap Andra dengan raut sinis. Darma pun ikut bangkit dari duduknya.
“Heh! Jika dilihat dari cara kamu membentak Papa, Papa sudah bisa menyimpulkan kalau kamu masih sangat mencintai wanita itu, Andra. Hanya saja kamu malu untuk mengakuinya,” ucap Darma menebak dan membuat Andra tercenung di tempatnya.
“Tapi ingat satu hal Andra! Sampai kapanpun. Papa tidak akan pernah biarkan kamu bersatu lagi dengan wanita miskin itu. Dia tidak sederajat dengan kita. Dan dia tidak mungkin pantas untuk masuk ke dalam keluarga Wijaya! Camkan itu!” Darma menunjuk Andra dengan tegas. Kemudian berlalu pergi dari ruangan itu. Meninggalkan Andra yang tiba-tiba merasa dirinya lemas.
Tubuh jangkung Andra kini kembali terduduk di atas kursi kerjanya.
“Apa yang Papa katakan? Tidak! Aku tidak mungkin mencintai Alana! Tidak mungkin. Papa hanya salah menduga. Rasa cintaku sudah lama mati untuk wanita itu. Yang tersisa hingga kini hanya ada kebencian. Hanya kebencian!” gumam Andra menggeleng-gelengkan kepalanya cepat.
Mengusap wajahnya dengan gusar, kemudian menekan dadanya yang entah mengapa merasa berdebaran tak karuan. Andra merasa ia bukan dirinya. Andra terus mengingatkan hatinya bahwa saat ini cintanya untuk Alana sudah lama lenyap.
***
BRAK!
Alana terlonjak kaget, perhatiannya dari layar computer kini teralih pada Darma yang baru saja keluar dari ruangan Andra dan tengah menatapnya murka.
“Wanita murahan! Dasar tidak tahu malu! Saya sudah mengusirmu jauh-jauh dari kehidupan anakku. Tapi sekarang kamu malah datang dan menunjukan batang hidungmu. Awas saja, Alana! Saya pastikan hidupmu tidak akan baik-baik saja!” Darma berdesis memberi tatapan peringatan pada Alana yang kini berdiri di hadapannya.
Alana hanya menunduk. Dan berusaha menampilkan sikap biasa saja. Alana tak ingin menunjukan ketakutannya di hadapan Darma. Yang ada, Darma akan semakin menindasnya.
“Terimakasih untuk pujian Anda, Tuan Darma yang terhormat. Tapi aku tidak merasa takut dengan ancaman Anda,” ucap Alana masih dengan wajah santainya.
Membuat Darma merasa geram dan menggertakan giginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Istri CEO Tampan
عاطفية"Saya akan bantu lunasi biaya operasi Andra. Tapi dengan satu syarat," ucap wanita tua itu pada Alana. "Apa syaratnya, Ma?" "Tinggalkan Andra, dan pergi sejauh mungkin dari kehidupannya!" Demi kesembuhan Andra, Alana rela meninggalkan suaminya itu...