Andra terdiam dengan menghunuskan tatapan dinginnya pada Alana yang tertunduk. Lalu Andra menghembuskan napas kasar, kemudian menurunkan kaki Alana dan ia bangkit berdiri.
'Aduh, apa kelancanganku tadi sudah membuat Andra marah? Kenapa Andra menatapku dengan cara seperti itu?' batin Alana bertanya-tanya.
Manik mata Alana memerhatikan punggung tegap Andra yang bergerak menuju sebuah laci. Andra mengeluarkan sesuatu dari sana lalu ia kembali berbalik menatap Alana.
"Terima itu!" kata Andra sembari melempar sesuatu dan refleks Alana menangkapnya.
"Olesi salep itu di pergelangan kakimu yang bengkak. Jika kamu merasa sudah bisa berdiri dan melangkah, maka segera pergi dari ruanganku! Ingat, Alana. Jangan merasa senang dengan apa yang ku lakukan padamu hari ini. Aku mengobati lukamu hanya karena aku tidak mau kamu menjadikan kakimu itu alasan untuk tidak ikut denganku ke bali! Keberangkatan kita besok tidak bisa dibatalkan. Kamu mengerti itu?" ujar Andra dengan nada memerintah.
Dan Alana menganggukan kepalanya. Ia mencoba bangkit perlahan meski dengan rasa sakit yang harus ia tahan.
"Iya, Pak Andra. Terimakasih banyak. Aku rasa, kakiku sudah agak membaik sekarang. Jadi aku akan pergi dan mengolesi kakiku di meja kerjaku saja. Sekali lagi terimakasih atas kebaikan Anda. Aku permisi.." Alana melangkah terpincang-pincang. Mengiring kakinya kanannya yang masih sangat sakit.
Tapi Alana merasa kalau ia harus segera keluar dari ruangan ini, sepertinya Andra tak nyaman dengan kehadiranya.
Seperginya Alana, bola mata Andra berlari kearah pintu yang sudah tertutup kembali.
Andra menarik napasnya panjang, lalu ia mengusap wajahnya dengan sebelah tangan.
"Hhh... Kenapa sentuhan tangan Alana tadi langsung membuat jantungku bergetar dengan hebat? Kenapa sentuhan wanita itu masih memberikan pengaruh pada tubuhku? Ini tidak mungkin. Hatiku tidak mungkin masih mencintainya. Nama Alana sudah lama mati dalam hidupku! Cintanya sudah lama mati!" tekan Andra pada dirinya sendiri.
Ya. Ketika tadi telapak tangan Alana hinggap di pundak kanannya. Andra langsung merasakan ada gelenyar--aneh yang menjalar di tubuhnya.
Andra masih mengelak dengan tegas jika ia sudah tidak mencintai wanita itu.
"Jangan lemah, Andra! Jangan lemah hanya karena wanita itu. Kamu harus ingat kalau cintamu pada Alana sudah lama mati. Yang ada dihatimu saat ini hanya rasa benci! Hanya itu," Andra mendongkak menepikan punggung di sandaran kursi kerjanya.
Matanya memejam dengan rapat berusaha mengusir rasa aneh yang masih bergetar di dadanya saat ini akibat sentuhan Alana.
Ini gila! Andra tidak mungkin masih mencintai wanita itu!
***
"Non Sherly! Saya mau menagih uang lima juta yang Non janjikan. Karena saya tadi sudah melakukan apa yang Non Sherly suruh. Saya sudah membuat kaki Mba Alana terkilir dan dia pasti tidak akan bisa berjalan dalam beberapa hari ke depan." Lia diam-diam mendatangi Sherly di dekat kantor saat jam makan siang.
Ternyata Sherly belum pulang. Dia ingin memastikan kalau rencananya benar-benar berhasil.
"Kamu yakin, kamu sudah melakukan tugasmu dengan baik?" tanya Sherly menaikan sebelah alisnya pada Lia.
Dengan tersenyum lebar, Lia menganggukan kepalanya.
"Tentu saja Non. Tadi saya melihat Mba Alana sangat kesakitan. Dan pergelangan kakinya juga membengkak. Dia pasti tidak akan sanggup berjalan," kata Lia dengan wajah percaya dirinya.
Sherly mendengkus masam. Lalu ia merubah riak wajahnya menjadi penuh amarah dan kekesalan.
"Alana tidak akan sanggup berjalan katamu? Terus di mana di sekarang? Di meja kerjanya 'kan. Dan kenapa aku mendengar gosip dari para teman-teman OB mu itu kalau Andra lah yang sudah menggendong Alana dari pantry. Kamu tidak becus menjalankan tugas. Kenapa calon suamiku harus menggendong Alana segala? Aku tidak puas dengan yang kamu lakukan, Lia!" sentak Sherly.
Membuat kening Lia berkerut menatapnya.
"Tapi, Non. Yang penting 'kan kakinya Mba Alana sudah--"
"Tidak ada tapi-tapian. Kalau aku tidak puas maka tidak akan ada lima juta. Titik!" Sherly berseru dengan nada tinggi kemudian berlalu begitu saja dari hadapan Lia yang memanggil-manggilnya.
Sherly segera masuk ke dalam mobilnya dan menjalankannya dengan hati yang dongkol.
"Huh! Dasar wanita perayu kamu Alana! Kalau Andra yang menggendong kamu dari Pantry, pasti dia juga yang akan mengobati kakimu itu. Terus Andra juga pasti akan tetap mengajak Alana untuk pergi menemaninya ke bali! Sia-sia saja rencanaku. Dasar Lia tidak becus! Harusnya dia buat kaki Alana benar-benar tidak bisa berjalan dua-duanya. Bukan malah hanya terkilir!" kesal Sherly memukul-mukul setir mobilnya.
Ia tidak bisa membayangkan jika besok pagi Andra dan Alana akan berada di satu pesawat yang sama. Kemudian mereka pergi berdua dan menginap di hotel yang berdekatan.
Ah, Sherly cemburu membayangkan itu! Andra hanya miliknya.
***
Sepulang kerja, Alana langsung disambut oleh Rehan di depan rumahnya. Tampak bocah kecil itu tersenyum sembari mendekap sebuah buku di dadanya.
Lalu dengan riang, Rehan menghambur memeluk Alana.
“Mama! Mama! Hari ini di sekolah, aku dapat nilai seratus lagi loh, Ma. Terus PR ku yang kemarin juga nilainya seratus. Kata ibu guru, aku harus makin semangat belajar biar bisa jadi juara kelas!” seru Rehan dengan wajah penuh antusias. Rehan menunjukan buku pelajaran miliknya pada Alana dengan bangga.
“Wah, anak Mama hebat sekali ya. Mama bangga sekali sama Rehan. Apalagi kalau Rehan makin rajin belajarnya.” Alana mengelus puncak kepala Rehan sambil tersenyum.
“Aku akan rajin belajar Ma. Biar besar nanti bisa jadi orang hebat!” Rehan lalu menarik tangan Alana untuk masuk ke dalam. “Ayo Ma. Kita makan malam sekarang!”
“Aww..” Alana meringis saat pergelengan kakinya tak bisa dibawa berjalan cepat.
Alis Rehan bertaut menatap Alana. “Mama kenapa? Kok kayaknya kesakitan?” tanya Rehan.
Alana segera tersenyum dan menggeleng. “Tidak apa-apa sayang. Mama baik-baik saja kok. Ayo kita masuk ke dalam. Perut Mama juga sudah lapar. Nenek masak apa malam ini?” Alana mengalihkan pembicaraan. Agar Rehan tak curiga jika kakinya sedang sakit.
Sebisa mungkin Alana berjalan dengan normal memasuki rumah sambil merangkul pundak Rehan. Ia tak ingin membuat Rehan merasa cemas dan khawatir.
“Nenek masak semur telor kesukaan Rehan. Mama juga suka ‘kan? Nanti biar aku yang suapin ya Ma. Mama pasti capek bekerja seharian.”
Alana tersenyum menganggukan kepala.
Begitu tiba di meja makan, Winarti ternyata sudah selesai menata makanan.
“Apa masih ada yang perlu aku bantu, Bu?” tanya Alana menatap pada Winarti yang tengah mengusap keringat di dahinya dengan lengan. Winarti balas menatap Alana kemudian tersenyum menggelengkan kepalanya.
“Tidak ada, Alana. Semuanya sudah selesai. Kamu duduklah, kita makan malam bersama sekarang.”
Alana mengangguk dan menarik kursinya lalu duduk. Rehan menempati kursi di samping Alana. Seperti yang Rehan katakan, anak itu akan menyuapi Alana malam ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Istri CEO Tampan
Romansa"Saya akan bantu lunasi biaya operasi Andra. Tapi dengan satu syarat," ucap wanita tua itu pada Alana. "Apa syaratnya, Ma?" "Tinggalkan Andra, dan pergi sejauh mungkin dari kehidupannya!" Demi kesembuhan Andra, Alana rela meninggalkan suaminya itu...